Senin, 28 September 2020

“MEREKA” ITU ADA

“MEREKA” ITU ADA

– Dinukil dari Majalah Qudwah Edisi 20 Volume 02 Tahun 2014 dalam rubrik “Kisahku” halaman 86 dengan sedikit pengeditan tulisan dan ejaan tanpa merubah makna-

Kisah ini adalah tentang pondok pesantren Kami. Kisah yang sangat berkesan dan sulit dilupakan bagi yang mengalaminya.

Kami adalah pengurus sebuah pondok pesantren. Awal perintisan pondok pesantren Kami kurang lebih 12 tahun yang lalu. Ketika itu, jangankan sebuah bangunan milik sendiri, tanah untuk mendirikan bangunan saja Kami tidak punya. Namun, Kami mencoba merintis sebuah pondok pesantren, awalnya hanya pondok pesantren putri, sekedar untuk mencari amalan kebaikan di jalan Allah, menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar karena Allah, serta berharap dapat menyebarkan dakwah salaf di daerah Kami. Suatu keinginan yang tidak muluk-muluk.

Kami memilih sebuah desa di dekat tempat tinggal Kami dengan beberapa pertimbangan. Desa itu adalah desa dengan penduduk Nasrani terbanyak di kecamatan Kami. Padanya terdapat gereja terbesar se-kecamatan. Misionarisme nampak jelas terlihat. Mungkin itu adalah salah satu alasan yang menyebabkan masyarakat di daerah itu antusias terhadap rencana Kami membangun sebuah pondok pesantren di sana. Beberapa kelompok organisasi Islam di sana yang biasanya berseteru, tiba-tiba sepakat mendukung rencana Kami tersebut. Mungkin dirasakan pendirian salah satu lembaga pendidikan Islam dapat menambah semangat mereka dalam menghadapi kaum misionaris, wallahu a’lam. Antusias penduduknya yang begitu besar terhadap rencana Kami itulah yang membuat Kami memilih desa tersebut. Sementara desa yang lain mayoritasnya masih terkungkung dengan adat istiadat yang begitu kental.

Alhamdulillah, Kami dimudahkan oleh Allah untuk menggalang dana. Walau jumlahnya tidak begitu besar, tapi cukup untuk merenovasi sebuah rumah yang diserahkan oleh salah seorang warga desa untuk Kami pergunakan. Sebuah rumah kuno yang sudah lama tidak ditempati, tapi cukup luas untuk dijadikan tempat tinggal sementara sebelum pondok pesantren Kami memiliki bangunan sendiri.

Tahun-tahun pertama, alhamdulillah, dapat Kami hadapi sekalipun bukan tanpa rintangan. Tapi dengan izin Allah, kegiatan belajar mengajar dapat berjalan sebagaimana yang Kami harapkan. Kami memulainya hanya dengan beberapa orang anak saja. Ketika masuk tahun ke-3, para santriwati hampir mencapai jumlah 60 orang.

Di tahun ke-4, Allah berkenan untuk menguji Kami dengan suatu peristiwa, yaitu masa-masa di mana diganggunya Kami dengan serangan jin. Sebetulnya kejadian ini bukan yang pertama kali. Telah ada sebelumnya kejadian serupa beberapa kali, namun biasanya kejadiannya hanya sebentar dan hanya mengenai 1-2 orang tertentu saja. Tapi kejadian di waktu itu adalah kejadian yang terbesar dan paling berkesan yang pernah Kami alami. Padanya terdapat banyak pelajaran yang dapat Kami ambil, insya Allah.

Kejadian itu bermula ketika salah seorang santriwati yang berusia kurang lebih 10 tahun seringkali menyendiri dan bermain sendirian di lahan jemuran belakang pondok. Para pengurus pondok pun melaporkan kejadian tersebut kepada ustadz/ustadzah pengurus. Maka untuk mengantisipasi kejadian tersebut diberlakukanlah jam sore, yaitu sebelum jam 5 sore anak-anak sudah tidak ada yang keluar rumah. Ketika aturan tersebut diberlakukan, maka anak tersebut pun berontak. Dia katakan bahwa dia harus ke tempat yang biasanya ia datangi karena seseorang telah menunggunya. Tapi tidak ada seorang anakpun yang pernah melihatnya bersama dengan orang lain. Ketika itu anak tersebut Kami tahan di dalam rumah. Lalu dia berkata bahwa ada yang memanggil-manggilnya dari luar rumah sehingga dia terus berusaha untuk bisa keluar rumah. Akhirnya Kami terpaksa meruqyahnya denga ayat-ayat Al Qur’an dan anak tersebut semakin menunjukkan tanda-tanda kerasukan jin. Ketika diruqyah, sang anak tersebut mulai meracau, dan terkadang di dalam racauannya tersebut jin yang merasukinya mengatakan bahwa aktifitas belajar mengajar yang Kami lakukan telah mengganggu tempat tinggal dan ketentraman mereka. Untuk itulah mereka mengancam akan membalas perbuatan Kami.

Awalnya Kami tidak terlalu menanggapi serius ancaman tersebut. Kami mengira bahwa kejadian itu hanyalah sebagaimana gangguan jin biasa yang terjadi pada sebagian orang. Akan tetapi ternyata yang terjadi ketika itu adalah sebaliknya. Ancaman tersebut mereka buktikan. Beberapa hari berselang, banyak santriwati yang terkena serangan jin. Bukan hanya 2 atau 3 orang, tapi menyerang sekitar 12-13 orang. Setiap terjadinya serangan tersebut, yang terganggu secara bersamaan bisa mencapai 7 orang. Tingkat gangguan yang mereka alami berbeda-beda. Ada yang hanya merasa diganggu dari luar berupa disakiti beberapa bagian tubuhnya, akan tetapi masih dapat menguasai kesadaran dirinya. Dan ada pula yang sampai kehilangan kesadaran diri. Tidak jarang pula serangan tersebut terjadi di malam hari.

Dari kejadian tersebut ada beberapa pelajaran yang dapat Kami ambil, bahwasanya dunia jin itu adalah benar adanya sesuai dengan apa yang terdapat dalam Al Qur’an. Mereka berada di sekitar kita. Mereka dapat melihat kita dalam keadaan kita tidak bisa melihat mereka. Hanya saja, Allah bukakan sebagian tabir alam ghoib tersebut kepada sebagian manusia dan Allah tutupkan hal tersebut bagi sebagian yang lainnya yang Allah kehendaki. Karenanya, sebagian anak-anak ada yang bisa melihat para jin beraktifitas, dan sebagian anak lainnya sama sekali tidak bisa melihatnya.

Oleh karena itulah, Kami tekankan kepada anak-anak agar tidak terpengaruh oleh tipu daya syaithon dari bangsa jin yang terkadang berusaha mengajak anak-anak berkomunikasi. Sebab, kabar dari bangsa jin tidak bisa serta merta kita percayai dikarenakan memang sulit bagi kita untuk mencari bukti dari setiap ucapan mereka. Kabar dari mereka hanya bisa kita percayai jika kita mendapatkan bukti nyata dari apa yang mereka beritakan.

Ketika itu, banyak keguncangan terjadi pada anak-anak didik Kami dan begitu pula kepada para orang tua mereka. Mereka yang sebagian besarnya baru mengenal dakwah ahlussnnah seakan-akan telah dibuat menjadi ragu : “Bukankah kita ini menuntut ilmu agama yang benar? Lantas mengapa justru kita diuji dengan perkara seperti ini?” Allahul Musta’an, hanya Allah saja lah tempat Kami memohon pertolongan.

Kami lalu mencoba untuk menjelaskan kepada mereka para orang tua bahwasanya Allah Ta’ala teah mengkabarkan di dalam Al Qur’an bahwa setiap nabi dan pewaris para nabi pasti akan dijadikan padanya musuh-musuh berupa syaithon dari bangsa jin dan manusia sebagai salah satu bentuk ujian. Allah Ta’ala berfirman :

وَكَذَٲلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوًّ۬ا شَيَـٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ يُوحِى بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٍ۬ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورً۬ا‌ۚ وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ‌ۖ فَذَرۡهُمۡ وَمَا يَفۡتَرُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithon-syaithon [dari jenis] manusia dan [dari jenis] jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu [manusia]. Jika Robb mu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. [Surat ke-6 Al An’am ayat 112]

Dan bukankah iblis la’natullahi ‘alaih sebagai cikal bakal bangsa jin itu sendiri telah bersumpah akan menyesatkan manusia semuanya? Akan tetapi dia sendiri mengakui bahwasanya dia tidak memiliki daya dan upaya untuk menyesatkan dan memudhorotkan hamba-hamba Allah yang ikhlash dan bertauhid dengan benar kepada-Nya. Hal ini sebagaiman firman Allah :

قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِى لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّہُمۡ أَجۡمَعِينَ

إِلَّا عِبَادَكَ مِنۡہُمُ ٱلۡمُخۡلَصِينَ

Iblis berkata: “Wahai Robb ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat maka pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik [perbuatan maksiat] di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, (39) kecuali hamba-hamba Mu yang ikhlash di antara mereka”. (40) [surat ke-15 Al Hijr ayat 39-40]

Selain berintropeksi dan memohon pertolongan Allah, Kami pun berusaha memeriksa keadaan rumah yang ditempati para santriwati karena tidaklah menutup kemungkinan rumah kuno yang Kami ttempati tersebut telah diberi penjagaan mistis (jimat) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang di desa Kami. Tapi saat itu Kami tidak menemukan sesuatu apapun. Ustadz Kami pun memiliki prasangka yang kuat bahwa kemungkinan jimat tersebut ditanam di bawah pondasi rumah, dan tentu saja Kami berbuat apapun jika keadaannya demikian.

Maka Kami mencoba menghadapi cobaan tersebut dengan meruqyah anak-anak yang terkena gangguan jin. Masing-masing anak mempraktekkan ruqyah tersebut karena Kami sangat membutuhkan tenaga mereka secara bergantian untuk mengobati teman-temannya dengan ruqyah. Sekalipun demikian, Kami tetap mencoba agar proses belajar mengajar bisa terus berjalan semampu Kami. Karena Kami pun tidak ingin apa yang dikehendaki oleh musuh Allah dari kalangan jin dan manusia berupa menghambat dakwah dapat tercapai. Lagipula, Kami merasa perlu untuk semakin mempertebal keyakinan dan pemahaman para santriwati terhadap agama Islam ini terutama dalam masalah tauhid, sehingga diharapkan semakin baik Kami mengamalkan tauhid tersebut maka Allah akan semakin menolong Kami dan memberikan kemudahan dan penjagaan dari gangguan syaithon.

Tidak lupa pula Kami berusaha memberikan penjelasan yang mudah dipahami kepada para orang tua dan warga sekitar agar mereka tidak merasa takut terhadap kejadian ini, yang mana terkadang warga sekitar pun ikut mendengar aktifitas ruqyah yang Kami lakukan. Walhamdulillah, mereka bisa memahami hal ini. Bahkan sebagian warga pun ada yang memberitahukan bahwasanya rumah yang Kami tempati dahulunya pernah dipergunakan untuk aktifitas perdukunan, sehingga sebagian warga justru ada yang bersimpati dengan keadaan Kami dan turut memberikan bantuan berupa makanan atau minuman untuk Kami yang sering kelelahan ketika meruqyah.

Dan masya Allah, berkat pertolongan Allah pula kemudian usaha santriwati dan bantuan sebagian ikhwah sekitar setelah waktu kurang lebih 2 pekan, gangguan tersebut hilang. Dan mayoritas anak yang awalnya terganggu oleh jin kemudian sembuh, meskipun pula sebagian anak-anak tersebut ada yang bisa menyaksikan sebagian kehidupan bangsa jin di sekitarnya. Di antara anak-anak ada yang menyaksikan bahwa ada sekelompok jin yang ikut ta’lim bersama Kami di pondok. Yang dari bangsa jin wanita nya ada yang duduk-duduk berdampingan dengan para santriwati, dan yang dari bangsa jin laki-laki nya ada yang duduk-duduk di atas palang pintu ikut mendengarkan ta’lim. Akan tetapi bangsa jin tersebut tidak memperdulikan anak-anak yang bisa menyaksikan aktifitas mereka tersebut.

Kalaulah benar apa yang disaksikan oleh sebagian anak-anak tersebut -dan Allah yang paling mengetahui- maka apa yang anak-anak saksikan tersebut semakin menambah keyakinan Kami terhadap apa yang telah Allah Ta’ala firmankan dalam surat Al Jinn tentang kehidupan bangsa jin yang mendapatkan hidayah ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an. Maka tentunya Kami bersyukur kepada Allah dengan hal tersebut.

Kami meyakini bahwasanya Allah Ta’ala akan meninggikan agama-Nya baik itu di kalangan manusia maupun di kalangan bangsa jin. Kami pun tetap bersyukur bahwa sekalipun pada saat serangan bangsa jin yang terakhir tetap ada ancaman serangan berikutnya, akan tetapi Kami tidak memperdulikannya dan tetap bertawakkal kepada Allah Ta’ala. Bagi Kami, hilangnya serangan jin tersebut adalah sebuah nikmat besar yang harus disyukuri. Kalaupun kelak Allah dengan hikmah-Nya berkehendak akan menguji Kami dengan hal serupa, maka Kami meyakini bahwa itulah yang terbaik bagi Kami dan insya Allah Kami dapat menghadapinya dengan pertolongan Allah Ta’ala.

Qodarullah, dengan kehendak Allah, memang itulah yang terjadi. Selang kurang lebih 1 bulan berikutnya, peristiwa serangan bangsa jin terjadi lagi. Kali ini anak-anak santriwati yang terkena serangan sekitar 8 orang dan terkadang terjadi secara bersamaan. Jika pada serangan sebelumnya anak-anak yang terkena gangguan jin tersebut mengaku diganggu oleh jin berwujud manusia dengan berbagai bentuk menyeramkan, maka kali ini mereka mengaku diganggu oleh sekelompok jin yang mayoritasnya berwujud binatang.

Akan tetapi walau bagaimanapun Kami tetap bersyukur kepada Allah dikarenakan pada saat kejadian tersebut ternyata ada anak-anak yang sebelumnya terkenan gangguan, tapi pada serangankali ini mereka justru dapat turut membantu meruqyah temannya yang terkena gangguan jin. Dan anehnya, kali ini serangan bangsa jin tersebut seakan-akan mengenal karakteristik Kami. Jika Kami para ustadz/ustadzah pengurus pondok sedang datang ke pondok, maka serangan jin itu berhenti. Akan tetapi jika Kami pulang ke rumah kediaman Kami yang berjarak kurang lebih 15 menit berkendaraan bermotor, maka mereka kembali menganggu. Kami memang diharuskan untuk pulang ke rumah kediaman Kami dikarenakan masih mempunyai tanggungan orang tua yang tinggal bersama Kami dan ketika itu mereka belum berkenan untuk Kami ajak pindah mendekati pondok. Dengan kondisi ini, maka Kami terpaksa pulang pergi untuk mengurusi pondok dan orang tua Kami.

Akhirnya Kami kembali meruqyah anak-anak yang terkena gangguan jin, sambil terus berdo’a kepada Allah memohon pertolongan atas musibah yang kembali terjadi ini. Terus menerus ujian ini datang selama 2 pekan, dan mayoritasnya terjadi di saat Kami tidak ada di pondok. Apabila Kami datang ke pondok -dengan izin Allah- gangguan jin tersebut berhenti. Akan tetapi baru saja baru saja Kami menginjakkan kaki ke rumah kediaman, telepon berdering dan memberitahukan bahwa terjadi gangguan jin lagi. Allahul Musta’an.

Akhirnya Kami berkesimpulan bahwasanya ada isyarat yang hendak Allah tunjukkan kepada Kami dan juga santriwati bahwa ujian ini seakan khusus bagi mereka. Karena terkadang Kami menjumpai bahwa sebagian anak yang terganggu tersebut masih ada yang memanggil-manggil nama Kami atau nama-nama temannya yang dia harapkan dapat menyembuhkannya. Kami lalu memberikan pemahaman kepada anak-anak yang terkena gangguan jin tersebut bahwasanya satu-satunya pertolongan adalah dari Allah Ta’ala saja. Adapun bantuan yang Kami berikan hanyalah sebatas perantara yang Allah jadikan sebagai turunnya pertolongan. Sehingga janganlah tertipu dengan tipu daya syaithon yang ingin memalingkan manusia dari memohon pertolongan kepada Allah semata menjadi memohon pertolongan kepada selain Allah dalam perkara yang hanya Allah saja yang mampu menolongnya.

Untuk memberikan semangat kepada mereka, salah satu pengurus pondok melantunkan talbiyah sebagai bentuk penyerahan diri dan kepasrahan kepada Allah Ta’ala. Sungguh alunan talbiyah itu begitu menggugah hati dan keimanan Kami. Ketika itu Kami pasrah dan menyerahkan sepenuhnya perkara ini kepada Allah Ta’ala karena hanya Allah saja lah yang menguasai segala urusan. Kami pun tetap memuji dan bersyukur kepada-Nya dengan apapun keadaan Kami, dan tiada sekutu bagi-Nya dalam segala bentuk peribadatan.

لَبَّيْكَ اللّٰهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ

إِنَّ الْحَمْدَ وَ النِّعْمَةَ لَكَ وَ الْمُلْكَ ، لَا شَرِيْكَ لَكَ

Kami datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Kami datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Kami datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian dan kenikmatan adalah milik-Mu semata. Tiada sekutu bagi-Mu.

Maka ketika Kami pulang dari pondok dan telepon kembali berdering mengabarkan gangguan yang terjadi lagi, Kami memutuskan untuk tidak kembali ke pondok. Kami ingin agar anak-anak menghadapi perkara tersebut dengan memohon pertolongan dari Allah Ta’ala saja, tanpa tergantung kepada Kami atau siapapun. Sementara itu, bimbingan tetap Kami berikan melalui telepon seraya terus memohon pertolongan Allah. Alhamdulillah, mereka para santriwati mengerti maksud Kami tersebut.

Maka mereka pun berusaha membantu memberikan pertolongan kepada teman-temannya yang terganggu dengan bimbingan Kami melalui telepon. Lantunan ayat-ayat Al Qur’an terus diperdengarkan untuk meruqyah teman mereka yang terganggu, sambil terus memohon pertolongan Allah Ta’ala.

Setelah beberapa waktu berselang, tiba-tiba dikabarkan bahwa anak-anak yang terganggu serentak terdiam padahal sebelumnya mereka menjerit kesakitan. Bahkan yang cukup mengherankan, salah seorang anak yang terganggu tersebut ada yang melantunkan talbiyah sebagaimana yang pernah dilantunkan oleh salah seorang pengurus pondok, padahal anak tersebut belum pernah mendengar ucapan talbiyah tersebut.

Di antara mereka ada pula yang terdiam sambil menangis, kemudian mengangguk-angguk seakan-akan sedang mendengarkan suatu perkataan seseorang lalu membenarkannya. Pengurus pondok (musyrifah) meminta bimbingan Kami apa yang harus dilakukan terhadap anak-anak tersebut. Kami lalu meminta mereka untuk tetap meneruskan ruqyahnya sambil terus memohon pertolongan Allah Ta’ala.

Setelah beberapa waktu kemudian satu per satu anak-anak yang terganggu pun mulai tersadarkan. Allahu Akbar. Sekitar 7-8 anak yang terganggu itu pun kemudian menceritakan perkara yang satu sama lainnya tidak jauh berbeda. Mereka bercerita bahwa ketika mereka sedang terganggu, Allah mentaqdirkan mereka untuk bisa melihat sebagian alam bangsa jin yang ada di sekitar mereka. Penglihatan mereka tentang perkara tersebut tidak sama persis satu sama lainnya sesuai kadar sakit yang dideritanya, akan tetapi satu sama lainnya saling melengkapi.

Anak-anak itu menceritakan bahwa terlihat sekelompok pasukan datang membantu mereka untuk melawan sekelompok jin yang mayoritasnya berwujud binatang tersebut. Kedua pasukan itu bertempur dengan dahsyatnya. Pasukan yang membantu itu berpenampilan sebagaimana manusia dengan pakaian layaknya laki-laki yang berpenampilan syar’i, lalu di antara mereka ada yang bertempur sambil bertalbiyah sebagaimana yang pernah dilantunkan oleh salah satu pengurus pondok. Itulah sebabnya anak yang sedang terganggu, alam bawah sadarnya sanggup menirukan apa yang dia lihat, akan tetapi ketika sudah sadar ternyata ia tidak mampu mengulanginya. Di antara pasukan yang membantu tersebut ada yang terluka atau terbunuh lalu ditarik mundur ke belakang pasukan oleh temannya, sementara yang lainnya terus bertempur hingga kemenangan dapat mereka peroleh dengan izin Allah Ta’ala.

Setelah itu salah seorang pemimpin pasukan yang membantu tersebut mengajak bicara anak-anak yang terganggu tadi dan menyampaikan nasihat untuk berpegang teguh dengan Al Qur’an dan As Sunnah, memperbaiki tauhid, memperhatikan syari’at-syari’at Allah, dan tidak lupa pula menitipkan salam kepada Kami. Allahu Akbar. Kami pun tidak merasa perlu untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi, sekalipun sulit rasanya bagi 7 orang anak-anak untuk berdusta tanpa berdiskusi dulu satu sama lain di waktu yang bersamaan. Akan tetapi Kami serahkan ta’wil perkara tersebut kepada Allah Ta’ala. Bagi Kami, pertolongan Allah kepada mereka hingga akhirnya sadar dan tidak pernah lagi terulang peristiwa tersebut sudah merupakan nikmat besar yang sangat Kami syukuri. Terlebih lagi, Kami bisa melihat perkembangan anak-anak yang pernah diganggu tersebut ternyata pemahaman mereka tentang perkara tauhid semakin mantap setelah terjadinya peristiwa tersebut dengan izin Allah. Walhamdulillah.

Setelah anak-anak angkatan ke-2 tersebut lulus, Kami pun mendapati bahwa nilai mereka rata-rata sangat memuaskan. Bahkan hal ini tidak Kami dapati pada angkatan-angkatan selanjutnya. Kami pun mendapati kenyataan bahwasanya banyak dari anak-anak tersebut yang kemudian di masa dewasanya diberi amanah oleh Allah Ta’ala untuk menjadi istri dari para da’i atau ustadz di berbagai daerah guna membantu suami-suami mereka dalam medan dakwah.

Adapun pondok Kami, setelah kejadian tersebut mendapatkan sebidang tanah waqof yang cukup luas untuk dapat Kami dirikan pondok pesantren beserta kelengkapannya. Dan dalam waktu yang relatif singkat (kurang lebih 3 tahun) Kami sudah bisa menempati tanah tersebut beserta perlengkapannya dan seiring berjalannya waktu semakin berkembang, alhamdulillah. Apa yang Kami alami berupa peristiwa tersebut semakin membuat Kami yakin bahwasanya tidaklah Allah Ta’ala menguji kecuali sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Dan ujian dari Allah adalah sarana untuk memberikan pelajaran dan mempersiapkan diri-diri kita untuk mengemban amanah yang lebih besar di waktu mendatang.

Dan yang lebih menakjubkan lagi, 6 tahun setelah peristiwa tersebut ternyata ada salah seorang ikhwan yang berniat membeli rumah yang dahulu Kami tempati itu. Pemiliknya memang menjualnya dengan harga cukup murah dikarenakan setelah Kami tinggalkan ternyata tidak ada yang berani memakai rumah itu apalagi membelinya. Maka ustadz Kami pun memberikan saran kepada ikhwan tersebut agar sebelum mendirikan bangunan baru, hendaknya ia menggali ke dalam pondasi rumah sekitar kedalaman 1 meter untuk mencari kemungkinan adanya rajah atau jimat yang ditanam di sana sebagaimana kebiasaan warga di desa tersebut dan juga berdasarkan dugaan kuat ustadz Kami tersebut. Maka saran ini pun dilakukan.

Allahu Akbar, ternyata setelah digali ditemukanlah 3 buah rajah di beberapa sudut pondasi rumah berupa botol tertutup dan di dalamnya terdapat lembaran-lembaran kertas berisi tulisan aksara Jawa kuno. Dan yang lebih mengherankan adalah ditemukannya seekor ular besar melingkar di tengah-tengah pondasi rumah. Anehnya, ular tersebut berdiam diri tanpa berusaha membuat jalan keluar.Besar ular tersebut sekitar seukuran paha laki-laki dewasa dengan panjang sekitar 5 meter. Ular itu memiliki tanduk kecil di kepalanya. Warga desa pun turut menyaksikannya. Maka warga pun memanggil pawang ular untuk mengambil ular tersebut. Ketika diambil, ular tersebut tidak berontak sama sekali. Akan tetapi, beberapa waktu kemudian terdengar kabar dari si pawang bahwa ular tersebut menghilang dari rumahnya tanpa diketahui penyebabnya. Allahu A’lam.

Semua peristiwa yang terjadi tersebut padanya terdapat hikmah yang sangat besar bagi kita semua, bahwasanya segala yang didapat oleh seseorang adalah murni berkat karunia dari Allah Ta’ala. Tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan-Nya. Dakwah itu milik Allah, maka Dia pula yang akan menjaganya. Allah akan memberikan hasil yang baik jika kita melakukan hal yang baik pula. Maka hal tersebut memperingatkan kepada Kami untuk senantiasa memperbaiki niat, memperbaiki tauhid, dan memperbaiki segala langkah yang ditempuh dalam medan dakwah ini.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kemudahan dan pertolongan-Nya kepada Kami, terkhusus para pengampu dakwah di mana pun mereka berada. Aamiin.

Allahu A’lam.

Sabtu, 18 Juli 2020

KISAH PEMULIAAN NABI ADAM DENGAN ILMU HINGGA DITURUNKAN DARI SURGA KE BUMI

💐📝KISAH PEMULIAAN NABI ADAM DENGAN ILMU HINGGA DITURUNKAN DARI SURGA KE BUMI

📖TERJEMAH TAFSIR AL-MUYASSAR SURAH AL-BAQOROH AYAT 31-39

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠

30. Wahai Rasul, ingatkanlah manusia ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi suatu kaum yang saling menggantikan (generasi ke generasi) guna memakmurkannya. Para Malaikat berkata: Wahai Rabb kami beritahukan dan bimbinglah kami apakah hikmah (di balik) penciptaan mereka itu? Padahal keadaan mereka adalah (suka) melakukan perusakan di bumi serta menumpahkan darah secara zhalim dan permusuhan. Sedangkan kami ini (adalah makhluk yang) taat menjalankan perintahmu. Kami selalu memahasucikan Engkau dengan penyucian yang layak diiringi pujian dan pemuliaan terhadap-Mu. Kami juga selalu memuliakan-Mu dengan setiap sifat-sifat yang sempurna dan agung. Allah berfirman kepada mereka: Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang tidak kalian ketahui berupa hikmah yang (sangat besar) dalam penciptaan mereka 

وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِ‍ُٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣١

31. Untuk memperjelas keutamaan Adam –semoga keselamatan untuknya- Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu. Kemudian Dia (Allah) menampakkan benda-benda yang punya nama itu kepada Malaikat seraya berkata: Kabarkan kepadaku nama benda-benda yang wujud ini, jika kalian memang benar bahwa kalian lebih layak menjadi khalifah di bumi dibandingkan mereka

قَالُواْ سُبۡحَٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ ٣٢ 

32. Para Malaikat itu berkata: kami memahasucikan Engkau wahai Rabb kami. Tidak ada pengetahuan pada kami kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah satu-satunya Yang Maha Berilmu tentang keadaan makhluk-Mu. Engkau Maha Bijaksana dalam pengaturan-Mu.

قَالَ يَٰٓـَٔادَمُ أَنۢبِئۡهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡۖ فَلَمَّآ أَنۢبَأَهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡ قَالَ أَلَمۡ أَقُل لَّكُمۡ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ غَيۡبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَأَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ ٣٣

33. Allah berfirman: Wahai Adam, kabarkanlah kepada mereka nama-nama benda-benda ini yang mereka tidak mampu mengetahuinya. Ketika Adam mengabarkan kepada mereka (nama-nama itu), Allah berfirman kepada para Malaikat: Sungguh Aku telah mengabarkan kepada kalian bahwasanya Aku Maha Mengetahui apa yang tersembunyi bagi kalian di langit dan di bumi. Aku Maha Mengetahui pula apa yang kalian tampakkan ataupun yang kalian sembunyikan

وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٣٤

34. Wahai Rasul ingatkanlah kepada manusia pemuliaan Allah terhadap Adam ketika Dia (Allah) Yang Maha Suci berfirman kepada para Malaikat: Sujudlah kepada Adam sebagai bentuk pemuliaan kepadanya dan untuk menampakkan keutamaannya. Para Malaikat itu taat seluruhnya kecuali Iblis tidak mau sujud karena sombong dan hasad. Jadilah Iblis sebagai pihak yang menentang Allah, bermaksiat terhadap perintah-Nya

وَقُلۡنَا يَٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٣٥

35. Allah berfirman: Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu Hawwa’ di surga. Silakan menikmati buah-buahannya secara luas dan nyaman di tempat manapun yang kalian berdua inginkan. Namun jangan mendekati pohon ini, sehingga jangan sampai kalian berdua jatuh ke dalam kemaksiatan yang akibatnya kalian menjadi orang-orang yang melampaui batas terhadap perintah Allah

فَأَزَلَّهُمَا ٱلشَّيۡطَٰنُ عَنۡهَا فَأَخۡرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِۖ وَقُلۡنَا ٱهۡبِطُواْ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوّٞۖ وَلَكُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُسۡتَقَرّٞ وَمَتَٰعٌ إِلَىٰ حِينٖ ٣٦

36. Kemudian syaithan membuat mereka berdua terjatuh ke dalam dosa, dengan menimbulkan bisikan (was-was) kepada mereka berdua (Adam dan Hawaa’) hingga keduanya memakan (bagian) dari pohon itu. Hal itu menjadi sebab keduanya dikeluarkan dari surga dan kenikmatannya. Allah berfirman kepada mereka: Turunlah ke bumi. Sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain – Adam dan Hawwaa’ (musuh) bagi syaithan –. Bumi adalah tempat tinggal dan menetap bagi kalian, (silakan) memanfaatkan (apa yang ada) di dalamnya hingga waktu berakhirnya ajal kalian

فَتَلَقَّىٰٓ ءَادَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٖ فَتَابَ عَلَيۡهِۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ٣٧

37. Kemudian Adam menerima (dengan penerimaan yang baik) kata-kata yang diilhamkan oleh Allah kepadanya sebagai tobat dan istighfar (permohonan ampunan). Yaitu ucapan Allah:

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ 

(Artinya) Wahai Rabb kami, kami telah menzhalimi diri kami. Jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, sungguh kami akan termasuk orang-orang yang merugi

Kemudian Allah menerima tobatnya dan mengampuni dosanya. Sesungguhnya Dia (Allah) Yang Maha Tinggi adalah Maha penerima tobat bagi hamba-hambaNya yang bertobat, lagi mengasihi mereka.

قُلۡنَا ٱهۡبِطُواْ مِنۡهَا جَمِيعٗاۖ فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدٗى فَمَن تَبِعَ 
هُدَايَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٣٨

38. Allah berfirman kepada mereka: Turunlah kalian dari surga seluruhnya. Akan datang kepada kalian dan keturunan kalian secara berturut-turut petunjuk menuju kebenaran. Barang siapa yang mengamalkannya, tidak ada perasaan takut baginya terhadap apa yang akan dihadapi dari perkara akhirat dan mereka juga tidak bersedih terhadap apa yang terluputkan dari perkara-perkara dunia

وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَكَذَّبُواْ بَِٔا يَٰتِنَآ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٣٩ 

39. dan orang-orang yang menentang serta mendustakan ayat-ayat Kami yang dibacakan maupun petunjuk-petunjuk keesaan Kami, mereka itulah orang-orang yang akan tetap berada di neraka. Mereka kekal di dalamnya, tidak akan keluar darinya

Penerjemah: Abu Utsman Kharisman

💡💡📝📝💡💡
WA al I'tishom

PELAJARAN BERHARGA DALAM KISAH TOBAT KAAB BIN MALIK

💐📝PELAJARAN BERHARGA DALAM KISAH TOBAT KAAB BIN MALIK (Bag ke-1)

📋Pendahuluan

Kisah tobat Kaab bin Malik atas kesalahan beliau tidak ikut dalam perang Tabuk memberikan banyak pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Bagi yang membaca dengan seksama, bercampur aduk perasaan yang timbul: keharuan, perasaan iba, dan juga turut berbahagia di akhirnya. Teladan mulia dari bimbingan Nabi dan para Sahabatnya.

Tulisan ini adalah serial penyampaian hadits dan kutipan sebagian pelajaran berharga tersebut. Semoga kita mendapatkan manfaatnya.

Pada bagian pertama ini akan disebutkan haditsnya secara lengkap berdasarkan lafadz riwayat Muslim dalam Kitabut Taubah. Haditsnya panjang, terabadikan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Pada tulisan ini tidak dikutip lafadz haditsnya dalam bahasa Arab, hanya disebutkan terjemahannya. Agar lebih mudah dipahami, disertakan pula sub-sub judul tambahan dalam terjemahan tersebut.

Kemudian insyaallah pada bagian-bagian selanjutnya akan disebutkan sebagian pelajaran berharga yang bisa dipetik.

📖 Terjemah Hadits Riwayat Muslim

Kaab bin Malik radhiyallahu anhu mengisahkan:
Aku tidak pernah tertinggal dari peperangan lain sebelumnya kecuali pada perang Tabuk. Aku memang juga tidak ikut dalam perang Badr, namun tidak ada yang dicela kalau tidak ikut saat itu. Karena tujuan semula Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan kaum muslimin keluar ke Badr hanyalah (menghadang) kafilah dagang Quraisy. Namun ternyata Allah pertemukan mereka dengan musuh mereka (dalam pertempuran dahsyat) tanpa perjanjian sebelumnya. Aku turut menyaksikan bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam malam (perjanjian) Aqobah ketika kami berjanji setia di atas Islam. Aku tidak suka jika keikutsertaanku di dalamnya ditukar dengan peristiwa (perang) Badr, meskipun perang Badr lebih banyak disebut (dikenang) oleh orang-orang. 

✅ Kondisi yang Menyulitkan untuk Berjihad: Cuaca Panas dan Jarak Tempuh yang Jauh
  
Kisahku saat tertinggal dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dalam perang Tabuk adalah: Aku tidak pernah merasa lebih kuat dan berkelapangan dibandingkan saat aku tertinggal dalam perang tersebut. Demi Allah, aku tidak pernah mengumpulkan dua kendaraan. Justru untuk perang itu aku sudah persiapkan dua kendaraan. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (merencanakan) keberangkatan untuk berperang dalam cuaca yang sangat panas dengan tujuan safar yang jauh untuk menghadapi pasukan musuh (yang diperkirakan) berjumlah banyak. 

Beliau memperjelas rencana itu kepada kaum muslimin agar mereka mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk pertempuran mereka tersebut. Beliau juga mengabarkan arah yang akan dituju. Kaum muslimin yang bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sangat banyak. Tidak ada catatan khusus tentang daftar orang-orang yang ikut dalam perang itu. Ka’ab berkata: Sedikit orang yang ingin tidak ikut dan ia menyangka bahwa ketidakhadirannya itu tidak diketahui. Selama tidak diturunkan wahyu dari Allah Azza Wa Jalla. Dan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam akan berjihad dalam pertempuran itu ketika sedang tumbuh buah-buahan dan sedang rindang-rindangnya tanaman. Akupun cenderung menyukai hal itu. 

✅ Akibat Menunda-Nunda Pekerjaan Baik

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan kaum muslimin yang bersama beliau pun mempersiapkan dengan baik perlengkapannya. Pada pagi harinya aku sempat berniat untuk mempersiapkan diri bersama mereka, namun aku kembali tidak melakukan persiapan apapun. Aku berkata dalam diriku: Aku mampu untuk berbuat demikian kapan saja aku mau. Hal itu terus berlangsung aku menunda-nundanya hingga manusia sudah benar-benar siap. 

Saat pagi hari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sudah siap berangkat dan kaum muslimin bersama beliau, aku belum mempersiapkan perlengkapanku sama sekali. Kemudian aku pun pergi dan kembali tidak melakukan persiapan sama sekali. Terus menerus aku menunda-nundanya hingga mereka telah berangkat. 

Aku berniat untuk mengejarnya namun tidak bisa kulakukan. Duhai seandainya aku melakukan itu. Kemudian tidaklah ditakdirkan terjadi padaku hal itu. Kalau aku keluar saat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sudah berangkat, hal yang membuatku bersedih adalah aku tidak menemukan teladan kecuali orang yang tenggelam dalam kemunafikan atau orang yang Allah berikan udzur kepadanya karena ia termasuk orang yang lemah. 

✅ Nabi Menanyakan Keadaan Kaab bin Malik Saat di Tabuk

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tidak menyebutkan tentang aku hingga sampai di Tabuk. Beliau berkata saat duduk bersama orang-orang di Tabuk: Ada apa dengan Ka’ab bin Malik? Seorang dari Bani Salimah berkata: Wahai Rasulullah, ia tertahan dengan burdahnya dan sibuk memandang kedua ketiaknya (isyarat akan sikap ujub terhadap diri dan berbangga dengan pakaiannya, pent). Kemudian Muadz bin Jabal berkata: Sungguh buruk apa yang engkau ucapkan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui keadaan dia kecuali kebaikan. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam diam. 

Ketika dalam kondisi seperti itu, Nabi melihat sosok laki-laki putih yang tersamarkan dengan fatamorgana. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: << Sepertinya itu Abu Khoytsamah >>. Ternyata itu memang Abu Khoytsamah al-Anshariy. Dia adalah orang yang bersedekah sebanyak 1 sho’ kurma saat dicela oleh orang-orang munafik.

✅ Sempat Muncul Keinginan Berdusta

Ka’ab berkata: Ketika sampai informasi kepadaku bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah dalam perjalanan pulang dari Tabuk, timbul perasaan sedih yang sangat dalam diriku. Aku pun sempat ingin berdusta. Aku berkata: Bagaimana caranya agar aku tidak mendapat kemurkaan dari beliau esok. Aku pun meminta pertimbangan kepada sebagian keluargaku yang dipandang berpandangan bijak. Ketika dikatakan kepadaku bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah dekat, hilanglah kebatilan (keinginan berdusta) dalam diriku. Hingga aku menyadari bahwasanya aku tidak akan bisa selamat dari beliau selamanya. Aku kumpulkan keberanian untuk berkata jujur. 

✅ Jujur Menyampaikan Kesalahan Tidak Ikut Berjihad Tanpa Udzur

Pada pagi harinya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam datang. Jika beliau datang dari safar, beliau memulai di masjid, shalat dua rakaat. Kemudian beliau duduk menunggu orang-orang. Dalam kondisi seperti itu datanglah orang-orang yang tertinggal (tidak ikut perang), mereka menyampaikan udzurnya dan bersumpah. Ada (sekitar) 80-an orang munafik. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menerima pengakuan mereka yang nampak secara zhahir dan membaiat mereka serta memohonkan ampunan untuk mereka. Beliau juga menyerahkan urusan batin mereka kepada Allah. 

Hingga aku datang. Ketika aku mengucapkan salam, beliau tersenyum dengan senyum kemarahan. Kemudian beliau berkata: Mari ke sini. Aku pun datang berjalan hingga duduk di depan beliau. Nabi bertanya: Apa yang menyebabkan engkau tidak ikut perang? Bukankah engkau telah membeli kendaraan? 

Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya demi Allah kalau aku duduk di sisi orang selain anda dari kalangan ahli dunia, niscaya aku mampu untuk menghindar dari kemurkaannya karena aku pandai berdiplomasi. Namun aku demi Allah, sungguh Dia mengetahui bahwasanya seandainya aku menyampaikan berita hari ini dengan hal yang dusta, anda ridha kepada saya, niscaya dalam waktu dekat Allah akan membuat anda murka kepada saya. Jika saya jujur dalam berbicara kepada anda, anda mungkin merasa marah pada saya, namun saya benar-benar berharap akibat (baik) dari Allah. Demi Allah, saya tidak memiliki udzur. Kondisi saya tidak pernah lebih kuat dan lebih berkelapangan saat tertinggal tidak ikut berperang bersama anda tersebut. 

✅ Konsekuensi Kejujuran: Merasakan Pahit di Awal

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: << Adapun orang ini sungguh ia telah jujur. Bangkitlah hingga Allah memutuskan perkara tentangmu >>. Aku pun bangkit dan bangkit pula para lelaki dari Bani Salimah mengikuti aku. Mereka berkata kepadaku: Demi Allah, kami tidak mengetahui bahwasanya engkau melakukan suatu dosa sebelum ini. Mengapa engkau tidak menyampaikan udzurmu kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sebagaimana orang-orang lain yang tertinggal juga menyampaikan udzur. Cukup bagimu permohonan ampunan Rasulullah terhadap dosamu itu. 

Demi Allah mereka terus mencelaku hingga sempat terbetik dalam pikiranku untuk kembali kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam guna meralat ucapanku. Kemudian aku berkata kepada mereka: Apakah ada orang lain yang seperti aku (jujur menyampaikan tidak adanya udzur)? Mereka berkata: Ya. Ada 2 orang laki-laki sepertimu. Mereka berdua juga berucap seperti ucapanmu. Kemudian dikatakan kepada mereka berdua seperti yang dikatakan kepadamu. Aku berkata: Siapa mereka berdua? Mereka berkata: Murooroh bin Robi’ah al-‘Aamiriy dan Hilal bin Umayyah al-Waqifiy. Mereka menyebutkan kepadaku 2 orang laki-laki shalih yang pernah ikut dalam perang Badr. Pada keduanya terdapat teladan yang baik. Aku pun terus mantap (untuk tetap jujur) ketika mereka menyebutkan dua orang itu kepadaku. 

✅ Rasulullah shollallahu alaihi wasallam Melarang Kaum Muslimin Berbicara dengan Kaab dan Dua Rekannya

Kemudian Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan kami bertiga yang tidak ikut berangkat perang (yang jujur tidak menyampaikan alasan/udzur). Manusia pun meninggalkan kami. Mereka berubah sikapnya terhadap kami hingga bumi ini terasa asing bagiku. Aku seperti berada di bumi yang tidak aku kenal. Kami mengalami hal itu selama 50 malam. 

Kedua rekanku itu merasa hina dan duduk di rumahnya terus menangis. Adapun aku adalah yang paling muda dan paling kuat di antara kami bertiga. Aku masih keluar untuk hadir shalat (berjamaah di masjid), berkeliling di pasar-pasar, namun tidak ada seorang pun yang berbicara denganku. 

Aku datang menemui Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengucapkan salam kepada beliau saat masih di posisi duduk beliau setelah shalat. Aku berkata dalam diriku: Apakah beliau menggerakkan kedua bibir beliau untuk menjawab salamku atau tidak. Kemudian aku sengaja shalat mengambil posisi dekat dengan beliau. Aku mencuri-curi pandang. Ketika selesai shalat, beliau sempat memandang ke arahku. Ketika aku menoleh ke arah beliau, beliau berpaling dariku. 

✅ Sikap Abu Qotadah, Orang yang Paling Dicintainya

Hingga berlangsung lama sikap kaku dari kaum muslimin terhadapku, aku berjalan dan menaiki dinding pembatas kebun Abu Qotadah. Ia adalah anak pamanku. Dia orang yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya. Demi Allah, ia tidak menjawab salamku. Aku berkata kepadanya: Wahai Abu Qotadah, aku memintamu demi Allah (dan mengingatkanmu kepada Allah), bukankah engkau benar-benar mengetahui bahwasanya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya? Ia terdiam. Aku ulangi lagi meminta kepadanya dengan Allah. Ia hanya diam. Aku ulangi lagi meminta kepadanya dengan Allah. Kemudian dia berkata: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Aku pun menangis. Aku berpaling hingga menaiki dinding pagar kebunnya (untuk keluar). 

✅ Ujian Besar: Tawaran Menggiurkan dari Raja Kafir

Ketika aku sedang berjalan di pasar Madinah, ada seorang petani penduduk Syam yang datang dengan membawa makanan yang akan dijual di Madinah. Ia berkata: Siapa yang bisa menunjukkan mana Ka’ab bin Malik? Orang-orang pun menunjuk kepadaku. Hingga petani dari Syam itu datang dan menyerahkan surat dari raja Ghossaan. Aku adalah seorang yang bisa menulis sehingga bisa membacanya. 

Ternyata isi suratnya adalah : Amma Ba’du. Telah sampai berita kepada kami bahwasanya sahabatmu (Rasulullah shollallahu alaihi wasallam) telah bersikap kaku terhadapmu (memboikotmu). Padahal Allah tidaklah menjadikan engkau berada di negeri yang hina ataupun tersia-siakan. Mari bergabung bersama kami, niscaya kami akan berbagi denganmu (memuliakanmu). Ketika selesai membacanya aku berkata: Ini adalah termasuk ujian juga. Aku pun menuju tungku api dan membakar surat itu. 

✅ Ujian Berikutnya: Diperintah untuk Menjauhi Istri Sendiri

Hingga saat berlangsung 40 malam dari total 50 malam, wahyu belum turun. Datang utusan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menemuiku. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memerintahkan kepadamu untuk menjauhi istrimu. Aku berkata: Apakah aku harus mentalaknya atau bagaimana? Utusan Rasulullah itu berkata: Tidak. Tapi menjauhlah darinya jangan sekali-kali mendekatinya. Kemudian utusan itu juga mendatangi dua rekanku dengan menyampaikan seperti itu. Aku berkata kepada istriku: Kembalilah kepada keluargamu, tetaplah di sisi mereka, hingga Allah memutuskan perkara ini. 

Istri Hilal bin Umayyah datang menemui Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah adalah orang tua yang tidak terurus. Ia tidak memiliki pembantu (hamba sahaya). Apakah anda tidak suka jika aku (tetap) melayani dia? Nabi bersabda: Tidak. Namun, jangan sekali-kali ia mendekati engkau. Istri Hilal bin Umayyah berkata: Demi Allah, ia tidak punya keinginan apapun. Demi Allah, ia terus menerus menangis sejak keadaannya itu hingga saat ini. 

Ka’ab bin Malik berkata: Sebagian keluargaku berkata kepadaku: Apakah tidak sebaiknya engkau meminta izin kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tentang istrimu. Bukankah Nabi telah memberi izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayani dia. Aku berkata: Aku tidak akan meminta izin dalam hal itu kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Apa nanti yang akan dikatakan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika aku meminta izin dalam hal itu, padahal aku seorang yang masih muda. 

✅ Jalan Keluar dari Allah di Malam ke-50

Kemudian aku melewati masa-masa itu 10 malam, sehingga genap menjadi 50 malam sejak kaum muslimin dilarang oleh Nabi untuk berbicara dengan kami. Kemudian aku shalat Subuh di pagi hari setelah malam ke-50 di atap rumahku.
 Ketika aku duduk dalam kondisi seperti yang Allah Azza Wa Jalla sebutkan: dadaku telah sempit. Bumi yang luas terasa sempit. 

Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari atas gunung. Ia berteriak: Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah. Aku pun tersungkur dalam sujud. Aku mengetahui bahwa itu berarti telah ada jalan keluar. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengumumkan bahwa Allah menerima tobat kami ketika selesai shalat Subuh. Orang-orang pun datang memberikan kabar gembira kepada kami.
Mereka pun mendatangi dua rekanku itu untuk memberikan kabar gembira. Ada yang bergegas dengan berkendara kuda. Ada pula seorang dari Aslam yang bergegas menuju aku. Ada pula yang naik gunung (dan berteriak). Suara tentunya lebih cepat (sampainya) daripada lari kuda. 

Ketika datang kepadaku orang yang aku dengar suaranya memberikan kabar gembira kepadaku, aku melepas pakaianku untuk diberikan kepadanya karena ia telah menyampaikan kabar gembira kepadaku. Demi Allah, aku (baru tersadar) bahwa aku tidak punya pakaian lain saat itu. Aku pun meminjam 2 kain. Aku memakainya. 

Aku berangkat menuju Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Orang-orang berdatangan menemui aku berkelompok kelompok. Mereka menyampaikan selamat atas diterimanya tobat(ku). Mereka berkata: Selamat atas penerimaan tobatmu oleh Allah. Hingga aku masuk masjid. 

✅ Kegembiraan Besar dalam Pertemuan dengan Nabi di Masjid

Ternyata Rasulullah shollallahu alaihi wasallam duduk di masjid. Di sekeliling beliau ada orang-orang. Bangkitlah Tholhah bin Ubaidillah berlari hingga menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada muhajirin lainnya yang bangkit selain dia. Karena itu Ka’ab tidak melupakan kejadian yang dilakukan Tholhah tersebut. 

Ka’ab berkata: Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, wajah beliau bersinar gembira dan bersabda: << Bergembiralah dengan kebaikan hari yang melewatimu sejak engkau dilahirkan oleh ibumu >>. Aku berkata: Apakah ini dari anda wahai Rasulullah, ataukah dari Allah? Nabi bersabda: Bahkan ini dari sisi Allah. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika bergembira, wajah beliau bersinar, seakan-akan potongan rembulan. Kami mengetahui hal itu. 

✅ Akhir Manis dan Indah Sebuah Kejujuran

Ketika aku duduk di hadapan beliau aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya bagian dari tobatku adalah aku akan melepaskan sebagian dari hartaku untuk sedekah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya shollallahu alaihi wasallam. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: << Tahanlah sebagian hartamu, itu lebih baik bagimu >>. Aku pun berkata: Aku akan menahan bagianku yang di Khaibar. Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkan aku dengan kejujuran. Dan bagian dari perwujudan tobatku adalah aku tidak akan berbicara kecuali secara jujur selama sisa masa hidupku. Demi Allah, aku tidak mengetahui ada seorang muslim yang Allah uji karena kejujurannya sejak aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sampai hari ini dengan ujian yang lebih baik dibandingkan ujian Allah terhadapku. Demi Allah, aku tidak pernah menyengaja untuk berdusta sejak aku berkata demikian kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sampai hari ini. Aku pun berharap Allah menjagaku tetap demikian pada sisa usiaku. Kemudian Allah Azza Wa Jalla menurunkan (firman-Nya):  

لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (117) وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (118) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (119)

Sungguh Allah telah memberikan taufik kepada Nabi-Nya Muhammad shollallahu alaihi wasallam menuju inabah (dan taat kepada-Nya). Allah juga menerima tobat kaum muhajirin dan Anshar yang mengikuti beliau di masa-masa sulit (perang Tabuk) setelah hati sebagian kelompok menyimpang (ada keinginan untuk tidak ikut berperang). Kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang (117) dan terhadap 3 orang yang ditangguhkan (tobatnya) hingga bumi yang luas terasa sempit bagi mereka dan diri mereka sendiri terasa sempit, namun mereka yakin bahwa tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali menuju Allah. Kemudian Allah memberi mereka taufik untuk bertobat sehingga merekapun bertobat dan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang (118) Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur (119)(Q.S atTaubah ayat 117-119)

Ka’ab berkata: Demi Allah tidak ada kenikmatan dari Allah kepadaku setelah Allah berikan hidayah aku kepada Islam yang lebih besar bagiku dibandingkan kejujuranku kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Sungguh suatu nikmat yang besar ketika aku tidak berdusta terhadap beliau sehingga aku binasa sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah berfirman kepada orang-orang yang dusta dengan ungkapan yang terburuk ketika Dia turunkan wahyu. Allah berfirman:

سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ

Mereka akan bersumpah atas nama Allah kepada kalian jika kalian sudah kembali kepada mereka agar kalian berpaling terhadap mereka. Berpalinglah terhadap mereka, sesungguhnya mereka itu najis. Tempat kembali mereka di Jahannam sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka perbuat. Mereka bersumpah kepada kalian agar kalian ridha kepada mereka. Jika kalian ridha kepada mereka, sungguh Allah tidak ridha terhadap kaum fasik (Q.S atTaubah ayat 95-96)

Ka’ab berkata: Kami bertiga ditangguhkan dari urusan mereka itu. Mereka diterima (ucapannya) ketika bersumpah kepada beliau. Beliau pun membaiat mereka dan memohonkan ampunan (Allah) untuk mereka. Dan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menangguhkan urusan kami hingga Allah memberikan keputusan demikian. Allah Azza Wa Jalla berfirman:

وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا...

Dan kepada tiga orang yang ditangguhkan...(Q.S atTaubah ayat 118)

Allah menyebutkan takholluf (tertinggal atau ditangguhkan), bukanlah karena kami tertinggal dari perang, namun itu adalah penundaan dan penangguhan urusan kami terhadap orang-orang (munafik) yang sudah bersumpah dan meminta maaf kepada Nabi dan beliau menerimanya

(Abu Utsman Kharisman)

<< Insyaallah bersambung ....>>

💡💡📝📝💡💡
WA al I'tishom

💐📝PELAJARAN BERHARGA DALAM KISAH TOBAT KAAB BIN MALIK (Bag 2-selesai)

Beberapa pelajaran berharga yang bisa diambil dari hadits tobatnya Kaab bin Malik radhiyallahu anhu tersebut (dirangkum dari penjelasan para Ulama) di antaranya adalah:

Pertama: Bolehnya menceritakan keadaan diri sendiri di masa lalu yang kurang dalam menerapkan perintah agama, diiringi dengan penyebutan sebab dan akibatnya, agar menjadi pelajaran bagi orang lain.

Kedua: Keutamaan Sahabat Nabi Kaab bin Malik radhiyallahu anhu. Beliau adalah salah seorang yang ikut dalam Baiatul Aqobah, tidak pernah absen dalam pertempuran bersama Nabi kecuali pada perang Badr dan perang Tabuk. Penerimaan tobatnya diabadikan dalam alQuran oleh Allah Ta’ala dalam surah atTaubah.

Ketiga:  Keutamaan Sahabat Nabi Hilal bin Umayyah dan Murooroh bin Robi’ah al-‘Aamiriy. Keduanya ikut dalam perang Badr. Penerimaan tobatnya diabadikan dalam alQuran oleh Allah Ta’ala dalam surah atTaubah.

Keempat: Keburukan sikap menunda-nunda. Membuat seseorang bisa terhalangi untuk mendapatkan kebaikan. Bahkan bisa membuatnya terjatuh dalam dosa.

Kelima: Jika pemimpin muslim memerintahkan kaum muslimin untuk keluar berjihad secara umum, wajib diikuti oleh setiap laki-laki dewasa yang mampu dan tidak memiliki udzur. 

Keenam: Disyariatkannya menjauhi orang-orang yang melakukan dosa besar maupun kebid’ahan. Tidak terbatas hanya dalam batasan 3 hari. Hal itu jika dipandang adanya maslahat bagi diri orang yang menjauhinya ataupun pihak yang dijauhi. 

Ketujuh: Disunnahkannya shalat sunnah dua rakaat di masjid saat baru tiba dari safar. Sebagaimana yang dilakukan Nabi sepulang dari perang Tabuk, beliau singgah di masjid untuk shalat sunnah dua rakaat terlebih dahulu kemudian duduk menunggu orang-orang datang.

Kedelapan: Kejujuran akan menghasilkan akibat akhir yang baik, meskipun mungkin pahit di awalnya. Sebaliknya, kedustaan akan mengantarkan pada akibat akhir yang buruk, meskipun seakan-akan manis di awal. Tiga Sahabat Nabi tersebut bersikap jujur, sehingga mereka mendapat kemurkaan dari Nabi dan tidak diajak bicara oleh kaum muslimin dalam waktu 50 malam. Itu terasa pahit di awal. Namun, hasil akhirnya adalah kebaikan yang terus berlangsung, diabadikan dalam alQuran. Sebaliknya, orang-orang munafik itu berdusta sehingga tidak mendapat hukuman di awal. Namun mereka mendapatkan celaan yang diabadikan dalam alQuran.

Kesembilan : Menetapkan hukum di dunia berdasarkan yang nampak secara zhahir. Sebagaimana Nabi menerima pernyataan secara zhahir dari orang-orang munafik itu, tanpa harus menduga hal yang tersimpan dalam hatinya.

Kesepuluh: Nabi tidak mengetahui hal yang ghaib. Beliau tidak bisa membaca isi hati manusia, kecuali yang diberitahukan oleh Allah Taala.

Kesebelas: Nabi adalah manusia yang paling sempurna secara kemampuan fisik maupun akhlaknya. Penglihatan beliau sangat tajam. Saat berada di Tabuk, dari kejauhan beliau melihat sosok yang masih belum terlihat dalam pandangan kebanyakan orang, tapi beliau sudah bisa menebak bahwa itu Abu Khoytsamah.

Keduabelas : Ketundukan para Sahabat dalam menjalankan perintah Nabi. Para Sahabat bersegera menjalankan perintah Nabi untuk tidak berbicara kepada 3 Sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabuk itu, meskipun mereka adalah orang-orang dekatnya. Seperti Abu Qotadah yang sangat dekat dengan Kaab bin Malik, tidak mau berbicara sepatah katapun dengannya, kecuali setelah didesak dengan menyebut Nama Allah 3 kali. Itupun sekedar menyatakan: Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Tidak lebih dari itu. 

Ketigabelas : Memusnahkan media yang bisa menyeret seseorang terjatuh dalam dosa. Ajakan dari raja Ghossan kafir saat Kaab dijauhi Nabi dan para Sahabat lain adalah suatu ujian. Suratnya kemudian dibakar agar tidak ada celah lagi dalam mengikuti tawaran itu.

Keempatbelas : Bagian dari bentuk tobat adalah penyesalan yang sebenar-benarnya. Hilal bin Umayyah dan Murooroh bin Robi’ah al-‘Aamiriy demikian larut dalam kesedihan dan penyesalan sebagai bentuk kesungguhan tobatnya. Terus menangis di rumahnya. 

Kelimabelas: Pernyataan seorang suami pada istrinya: “Pulanglah ke rumah orangtuamu” tidaklah selalu bermakna talak. Tergantung apa yang diniatkan suami kepada istrinya saat mengucapkan hal itu. Kaab bin Malik menyuruh istrinya untuk tinggal sementara bersama orangtuanya sampai Allah menetapkan keputusannya. Hal itu tidaklah bermakna talak.

Keenambelas: Dianjurkannya bersedekah sebagai bentuk tobat. Sebagaimana Kaab bin Malik menyedekahkan hartanya sebagai bentuk tobat yang disetujui oleh Nabi. Namun Nabi mengarahkan agar jangan semua hartanya disedekahkan. Kemudian Kaab menahan hartanya yang diterima dalam perang Khaibar, tidak termasuk yang disedekahkan.

Ketujuhbelas: Meyakini bahwa tidak ada jalan lain untuk menghindar dari kemurkaan Allah kecuali dengan inabah (kembali) kepada Allah Ta’ala.

Kedelapanbelas:  Disukainya menyampaikan kabar gembira kepada seorang muslim. Para Sahabat Nabi berlomba-lomba menyampaikan kabar gembira diterimanya tobat ketiga Sahabat itu selepas Nabi mengumumkannya selepas shalat Subuh setelah malam ke-50. 

Kesembilanbelas: Bolehnya berdiri untuk menghampiri seseorang yang baru datang kemudian menjabat tangannya, sebagaimana yang dilakukan Sahabat Nabi Tholhah bin Ubaidillah terhadap Kaab bin Malik.

Keduapuluh: Tobat yang dilakukan seseorang adalah taufik dari Allah Ta’ala.

Keduapuluh satu: Jika Allah menerima tobat seseorang, itu suatu anugerah yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Nabi menyebut bahwa hari saat Allah menerima tobat Kaab bin Malik sebagai hari terbaik baginya sejak ia dilahirkan.

(Abu Utsman Kharisman)

💡💡📝📝💡💡
WA al I'tishom

KISAH TOBAT PEMBUNUH 100 JIWA

💐📝KISAH TOBAT PEMBUNUH 100 JIWA

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنَ تَوْبَةٍ فَقَالَ لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ نَعَمْ وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللَّهَ فَاعْبُدِ اللَّهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللَّهِ. وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِى صُورَةِ آدَمِىٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ قِيسُوا مَا بَيْنَ الأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الأَرْضِ الَّتِى أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ

Pada umat sebelum kalian ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 jiwa. Kemudian ia bertanya tentang siapakah penduduk bumi yang paling berilmu. Ia pun ditunjukkan pada seorang ahli ibadah. Ia mendatanginya dan berkata bahwasanya ia telah membunuh 99 jiwa. Apakah masih ada peluang tobat untuk dia. Ahli ibadah itu menjawab: Tidak. Orang itu pun membunuh ahli ibadah tersebut. Sehingga genaplah menjadi 100 jiwa (yang pernah dibunuhnya). Kemudian ia bertanya tentang penduduk bumi yang paling berilmu. Ia ditunjukkan pada seorang yang berilmu. Orang itu berkata bahwa ia telah membunuh 100 jiwa. Apakah masih ada tobat untuknya. Orang berilmu berkata: Ya, siapakah yang bisa menghalangi antara dirinya dengan pertobatan? Pergilah ke tempat ini dan ini karena di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka. Jangan kembali ke tempat asalmu karena itu tempat yang buruk. Ia pun pergi hingga di pertengahan jalan ia meninggal. Malaikat rahmat berdebat dengan Malaikat azab. Malaikat rahmat berkata: Ia telah datang dengan bertobat menghadapkan hatinya kepada Allah. Malaikat azab berkata: Sesungguhnya ia belum melakukan kebaikan sama sekali. Kemudian datanglah Malaikat dalam bentuk manusia. Mereka pun menjadikannya sebagai hakim pemutus perkara di antara mereka. Malaikat (dalam bentuk manusia) itu berkata: Ukurlah antar 2 tempat itu. Ke manakah yang lebih dekat, diputuskan dengannya. Mereka pun mengukurnya dan didapati bahwa ia lebih dekat ke tempat yang dituju. Kemudian ia dibawa oleh Malaikat rahmat (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudriy, lafadz sesuai riwayat Muslim)

Dalam riwayat al-Bukhari dinyatakan: 

فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى هَذِهِ أَنْ تَقَرَّبِي وَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى هَذِهِ أَنْ تَبَاعَدِي وَقَالَ قِيسُوا مَا بَيْنَهُمَا فَوُجِدَ إِلَى هَذِهِ أَقْرَبَ بِشِبْرٍ فَغُفِرَ لَهُ

Allah memerintahkan kepada bagian bumi yang ini (tempat yang dituju) untuk mendekat dan memerintahkan kepada bagian bumi yang ini (tempat yang ditinggalkan) untuk menjauh. Allah berfirman: Ukurlah antara 2 tempat itu. Ternyata didapati lebih dekat sejengkal terhadap bagian bumi ini (tempat yang dituju). Ia pun diampuni (H.R al-Bukhari) 

📋 Beberapa Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Hadits ini

Di antara pelajaran berharga yang bisa diambil dari hadits ini adalah:

1. Begitu luasnya rahmat Allah. Meskipun begitu banyak dosa seseorang, ia tidak boleh putus asa untuk mendapatkan ampunan Allah. Sebesar apapun dosa seseorang jika ia bertobat dengan sebenarnya, Allah akan mengampuninya.

2. Perbedaan ahli ibadah dengan orang yang berilmu. Seorang yang dikenal manusia sebagai ahli ibadah belum tentu berilmu. Dalam hadits itu, seorang ahli ibadah memberi petunjuk yang salah dan membuat orang yang ingin bertobat dihalangi dari tobat sehingga mengakibatkan dosanya bertambah dan dirinya justru terbunuh. Sedangkan orang berilmu mengarahkan pada kebaikan (tobat) dan agar ia bergabung dengan orang-orang yang baik.

3. Sebagai bentuk upaya bertobat, menjauhi pergaulan yang buruk dan bergabung dengan orang-orang yang shalih dan taat kepada Allah. Pergaulan yang buruk akan mudah menyeret seseorang kembali melakukan dosa. Berteman akrablah dengan orang-orang yang mentauhidkan Allah dan berpegangteguh dengan Sunnah Nabi.

(Abu Utsman Kharisman)

_Dapatkan artikel bermanfaat lainnya di:_
 *itishom.org*

💡💡📝📝💡💡

WA al I'tishom

Sabtu, 11 April 2020

Kisah Umar dan Para Sahabat Saat Akan Memasuki Wilayah yang Terkena Wabah

💐📝Kisah Umar dan Para Sahabat Saat Akan Memasuki Wilayah yang Terkena Wabah

Umar dan para Sahabat lain yang masih hidup saat itu pernah hendak memasuki wilayah Syam. Namun, ketika belum masuk wilayah itu, ada laporan dari Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan pasukannya bahwa di Syam sedang terjangkit wabah penyakit.

Umar kemudian bermusyawarah dengan memilih orang-orang pilihan secara bertahap untuk memutuskan apakah pasukan ini terus masuk ke Syam atau kembali pulang. Awalnya, Umar mengajak bermusyawarah khusus Sahabat Muhajirin yang masih hidup. Para Sahabat Muhajirin ini tidak satu suara. Mereka berselisih. Ada yang berpendapat terus masuk ke Syam, ada juga yang berpendapat kembali ke Madinah.

Kemudian Umar mengajak musyawarah kaum Anshar. Demikian juga, ada perbedaan pendapat di antara mereka.

Selanjutnya, Umar mengajak musyawarah masyayikh Quraisy yang berhijrah menjelang Fathu Makkah. Mereka tidak ada yang berselisih, berpendapat bahwa sebaiknya kembali pulang.

Umar pun mengumumkan agar pasukan bersiap pulang esok pagi. Kemudian datang Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu anhu bertanya kepada Umar: Apakah anda lari dari takdir Allah?

Umar menjawab:

نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَتْ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ

Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah. Bukankah jika engkau memiliki unta kemudian berhenti (ada pilihan) pada 2 lembah yang memiliki 2 tempat. Satu tempat subur dan tempat yang lain tandus. Bukankah jika engkau gembalakan untamu di tempat yang subur, engkau menggembalakannya dengan takdir Allah? dan jika engkau gembalakan di tempat yang tandus engkau menggembalakannya dengan takdir Allah?

Setelah itu datanglah Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu yang sebelumnya tidak hadir karena ada suatu keperluan, menyampaikan hadits yang pernah didengarnya dari Nabi shollallahu alaihi wasallam. Abdurrahman bin Auf menyatakan:

إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ 

Sesungguhnya aku memiliki ilmu tentang hal ini. Aku mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika kalian mendengar di suatu tempat (terjangkit wabah) jangan masuk ke dalamnya. Jika (wabah itu) menimpa suatu tempat sedangkan engkau berada di dalamnya, janganlah keluar karena lari dari wabah itu (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Kisah dalam hadits Shahih al-Bukhari dan Muslim tersebut memiliki sekian banyak pelajaran berharga bagi kita. Sedikit faidah atau pelajaran berharaga tersebut di antaranya adalah:

Faidah pertama: Tawadhu’nya Umar. Meski beliau memiliki ilmu yang luas, pemahaman yang kokoh dan akal yang cerdas, bahkan Nabi mengatakan bahwa ia termasuk yang mendapat ilham, namun beliau tetap bermusyawarah. Apalagi hal itu terkait dengan urusan orang banyak.

Faidah kedua: Hendaknya yang diajak musyawarah adalah orang-orang pilihan. Sebaiknya yang diikutkan dalam musyawarah adalah orang-orang yang berjumlah sedikit. Agar tidak banyak perselisihan. Umar pada awalnya mengumpulkan hanya Muhajirin, kemudian Anshar saja, kemudian masyayikh Quraisy yang berhijrah sebelum Fathu Makkah. Hal itu juga menunjukkan bahwa pihak yang diajak bermusyawarah secara terpisah memiliki kekhususan tersendiri. Misalkan, awalnya mengajak musyawarah para pemimpin, kemudian berikutnya mengajak musyawarah tersendiri para Ulama, dan seterusnya.

Faidah ketiga: Melakukan aksi atau tindakan-tindakan tertentu sebagai penyebab adalah bagian dari takdir Allah. Bukan peniadaan terhadap takdir Allah. Seseorang yang tidak mau masuk ke suatu wilayah yang terkena wabah, ia menghindar dari wabah itu karena takdir Allah juga.

Faidah keempat: Musyawarah adalah untuk hal-hal yang tidak memiliki nash hujjah yang jelas. Jika telah ada hujjah dalil yang tegas, itulah yang diambil. Tidak perlu dimusyawarahkan lagi.

Faidah kelima: Diterimanya khabar ahad dalam hadits. Meski pun yang menyampaikan hadits hanya seorang, yaitu Abdurrahman bin Auf saja, itu sudah cukup dan diterima.

Faidah keenam: Kadangkala seseorang yang berilmu tidak mengetahui suatu hadits. Ada orang yang tingkatan keilmuannya di bawahnya, pernah mengetahui adanya suatu hadits. Sekian banyak Sahabat termasuk Umar tidak pernah mendengar hadits Nabi itu. Barulah mereka tahu setelah disampaikan oleh Abdurrahman bin Auf.

(disarikan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Ta'liq ala Shahih Muslim (7/20-26))

(dikutip dari buku "Sirah Sahabat bag ke-1", Abu Utsman Kharisman, penerbit atTuqa)

💡💡📝📝💡💡
WA al I'tishom

UWAIS AL-QORONIY: TABIIN TERBAIK

💐📝UWAIS AL-QORONIY: TABIIN TERBAIK 

Tabi’in adalah orang-orang yang tidak pernah bertemu Nabi, namun pernah bertemu dengan setidaknya seorang Sahabat Nabi. Tabi’in terbaik adalah Uwais al-Qoroniy. Disebutkan dalam sebuah hadits:

Sebaik-baik Tabi’in adalah seorang laki-laki yang disebut dengan Uwais. Ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepadanya. Ia (pernah) memiliki penyakit putih (pada kulit). Mintalah agar dia memohonkan ampunan (Allah) untuk kalian (H.R Muslim dari Umar)


✅Sekilas tentang Uwais al-Qoroniy

Nama Asli: Uwais bin ‘Amir al-Qoroniy
Kuniah: Abu ‘Amr
Lahir : { hidup semasa Nabi namun tidak pernah berjumpa dengan Nabi – disebut pula alMukhodhrom }
Wafat: pada perang Shiffin (37 H).
Tempat Tinggal: Yaman; Kufah
Guru Beliau: Umar bin al-Khoththob, Ali bin Abi Tholib
Murid Beliau: Abdurrahman bin Abi Laila, Yasir bin ‘Amr


✅Sangat Berbakti kepada Ibunya

Berbakti kepada ibu adalah suatu amalan yang sangat mulia. Bahkan, Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma pernah menyatakan:

إِنِّي لَا أَعْلَمُ عَمَلًا أَقْرَبَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ بِرِّ الْوَالِدَةِ

Sesungguhnya aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla selain berbakti kepada ibu (H.R al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallahu anhu pernah menasihati seseorang bahwa jika ia berbuat baik pada ibunya, akan menghantarkan dirinya ke dalam Surga. Selama ia tinggalkan dosa-dosa besar.

Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma berkata:

وَاللَّهِ لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلَامَ وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الْكَبَائِرَ

Demi Allah, kalau engkau berlembut kata kepada ibumu dan memberikan makanan (yang baik) kepadanya, niscaya pasti engkau masuk Surga selama engkau meninggalkan dosa-dosa besar (H.R al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Uwais al-Qoroniy termasuk teladan dalam berbakti kepada ibunya. Ia hidup sejaman dengan Nabi. Namun tidak pernah bertemu dengan Nabi. Bisa jadi karena ia tidak bisa meninggalkan ibunya. Sibuk untuk berbuat baik kepada ibunya tercinta.

Ashbagh bin Yazid rahimahullah menyatakan:

إِنَّمَا مَنَعَ أُوَيْسًا أَنْ يُقَدِّمَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرُّهُ بِأُمِّهِ 

Sesungguhnya yang menghalangi Uwais untuk datang menemui Rasulullah shollallahu alaihi wasallam adalah kesibukannya dalam berbakti kepada ibunya (riwayat Ahmad dalam az-Zuhud, Abu Nuaim dalam Hilyatul Awliyaa’)

Nabi shollallahu alaihi wasallam sendiri yang menilai Uwais sebagai seorang anak yang berbakti kepada ibunya:

...لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ...

...ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepadanya...(H.R Muslim)

Mungkin seseorang merasa telah berbakti kepada ibunya. Tapi belum tentu dalam penilaian Allah ia telah berbakti.

Jika seseorang telah dipastikan bahwa ia berbakti kepada ibunya oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, maka ia benar-benar orang yang telah berbakti. Uwais adalah salah satu orang yang telah mendapat kepastian itu.

✅Doa dan Sumpahnya Mustajab

Nabi menjelaskan bahwa Uwais al-Qoroniy pada awalnya memiliki penyakit kulit sejenis kusta. Namun ia terus berdoa kepada Allah Ta’ala agar menghilangkan penyakit itu. Allah bersihkan pada kulitnya penyakit tersebut hingga tersisa hanya seukuran dinar atau dirham saja.

قَدْ كَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَدَعَا اللَّهَ فَأَذْهَبَهُ عَنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ الدِّينَارِ أَوِ الدِّرْهَم

Ia dulunya memiliki penyakit kusta kemudian ia berdoa kepada Allah hingga melenyapkan penyakit itu dari dirinya kecuali seukuran dinar atau dirham (H.R Muslim)

Uwais banyak berdoa agar Allah menghilangkan penyakitnya itu bukanlah karena ketidakrelaan dia mendapatkan musibah tersebut, namun bisa jadi karena ia ingin lebih mudah melayani ibunya, agar ibunya tidak merasa jijik dan tersakiti jika berada dekat dengannya (disarikan dari Daliilul Faalihin li Thuruqi Riyaadhis Sholihin karya Ibnu ‘Allaan (4/61)).

Diriwayatkan bahwa Uwais berdoa agar disisakan sebagian kecil dari bekas penyakit kustanya itu adalah agar sebagai pengingat nikmat Allah terhadapnya:

اللَّهُمَّ دَعْ لِي فِي جَسَدِي مِنْهُ مَا أَذْكُرُ بِهِ نِعْمَكَ عَلَيَّ 

Ya Allah, sisakanlah di badanku dari penyakit itu yang membuatku selalu ingat nikmat-nikmatMu kepadaku (riwayat al-Baihaqiy dalam Dalaailun Nubuwwah dan Abu Ya’la dalam musnadnya, melalui jalur Mubarok bin Fadhoolah dari Abul Ashfar dari Sho’sho’ah bin Muawiyah. Abul Ashfar dinilai masyhur oleh Yahya bin Ma’in)

Kenikmatan sehat seringkali terabaikan. Tidak jarang orang yang sadar akan besarnya nikmat itu saat ia mengalami sakit. Jika seseorang pernah mengalami sakit kemudian sembuh, ingatannya akan perasaan sakit di waktu ia telah sehat akan menyadarkannya kembali akan begitu besarnya nikmat Allah kepadanya.
Sungguh kita banyak lalai dari nikmat kesehatan. Padahal, kesehatan yang prima, perasaan aman, dan tercukupnya kebutuhan makan harian adalah kenikmatan yang luar biasa. 

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Barangsiapa yang berada di waktu pagi merasa aman dalam dirinya, sehat jasmaninya, dan memiliki kecukupan makan hari itu (dari rezeki yang halal), seakan-akan seluruh (kenikmatan) dunia telah berkumpul padanya (H.R atTirmidzi dan Ibnu Majah dari Ubaidullah bin Mihshon, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Saat Umar bertemu dengan Uwais, Umar bertanya: Apakah engkau pernah memiliki penyakit kusta? Uwais membenarkan, dengan menyatakan:

نَعَمْ فَدَعَوْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَأَذْهَبَهُ عَنِّي إِلَّا مَوْضِعَ الدِّرْهَمِ مِنْ سُرَّتِي لِأَذْكُرَ بِهِ رَبِّي

Ya, kemudian aku berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla sehingga Dia hilangkan penyakit itu dariku kecuali seukuran dirham pada pusarku. Hal itu agar aku mengingat (nikmat) Rabbku (H.R Ahmad dan al-Hakim, dinyatakan shahih sesuai syarat Muslim oleh adz-Dzahabiy)

Nabi juga memerintahkan Sahabat yang bertemu dengan Uwais untuk memintakan ampunan kepadanya:

فَمَنْ لَقِيَهُ مِنْكُمْ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ

Barangsiapa di antara kalian yang bertemu dengannya, mintalah dia agar memohonkan ampunan (beristighfar) untuk kalian (H.R Muslim)

Jika Uwais bersumpah akan sesuatu hal, Allah akan memenuhi isi sumpahnya. 

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ

Jika ia (Uwais) bersumpah atas nama Allah, Allah akan mewujudkan isi sumpahnya itu (H.R Muslim)

✅Rendah Hati, Sederhana, dan Menjauh dari Ketenaran 

Salah satu karakter terpuji pada orang yang beriman adalah rendah hati, tidak ingin dipuja dan disanjung. Di kalangan manusia mungkin ia tidak dikenal. Dipandang sebelah mata. Namun ia mulia di sisi Allah Ta’ala. Bahkan, lebih mulia dibandingkan orang-orang yang lebih terkenal di kalangan manusia.

Itulah Uwais al-Qoroniy. Beliau khawatir orang-orang memuliakannya. Di saat banyak pihak mencari ketenaran, justru Uwais menjauh darinya.
Ada beberapa kejadian yang menunjukkan ketawadhu’an Uwais, sikapnya yang sederhana, dan beliau sangat tidak ingin masyhur di tengah-tengah manusia.

Pertama: Saat bertemu dengan Umar, Umar menanyakan keadaan Uwais. Setelah tahu bahwa ia memang Uwais yang dimaksudkan oleh Nabi, Umar pun meminta Uwais memohonkan ampunan untuknya. Tapi Uwais justru merasa bahwa Umar lebih layak mendoakan ampunan untuknya karena Umar adalah Sahabat Nabi. Barulah Uwais mau mendoakan ampunan untuk Umar setelah mendengar hadits yang didengar Umar dari Nabi.

لَمَّا أَقْبَلَ أَهْلُ الْيَمَنِ جَعَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَسْتَقْرِي الرِّفَاقَ فَيَقُولُ هَلْ فِيكُمْ أَحَدٌ مِنْ قَرَنٍ حَتَّى أَتَى عَلَى قَرَنٍ فَقَالَ مَنْ أَنْتُمْ قَالُوا قَرَنٌ فَوَقَعَ زِمَامُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَوْ زِمَامُ أُوَيْسٍ فَنَاوَلَهُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَعَرَفَهُ فَقَالَ عُمَرُ مَا اسْمُكَ قَالَ أَنَا أُوَيْسٌ فَقَالَ هَلْ لَكَ وَالِدَةٌ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَهَلْ كَانَ بِكَ مِنْ الْبَيَاضِ شَيْءٌ قَالَ نَعَمْ فَدَعَوْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَأَذْهَبَهُ عَنِّي إِلَّا مَوْضِعَ الدِّرْهَمِ مِنْ سُرَّتِي لِأَذْكُرَ بِهِ رَبِّي قَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اسْتَغْفِرْ لِي قَالَ أَنْتَ أَحَقُّ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِي أَنْتَ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَدَعَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَأَذْهَبَهُ عَنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ الدِّرْهَمِ فِي سُرَّتِهِ فَاسْتَغْفَرَ لَهُ

Ketika datang penduduk Yaman, Umar bertanya-tanya kepada anggota rombongan: Apakah ada di antara kalian seorang dari Qoron? Hingga beliau mendatangi orang-orang dari Qoron dan bertanya: Siapakah kalian? Mereka menjawab: (kami dari) Qoron. Kemudian tali kekang Umar atau Uwais terjatuh dan salah seorang dari keduanya (Uwais atau Umar) mengambilkannya untuk yang lain sehingga dia mengenalnya. Umar bertanya: Siapa namamu? Di menjawab: Aku Uwais. Umar bertanya: Apakah engkau memiliki ibu? Uwais berkata: Ya. Umar bertanya: Apakah dulu engkau memiliki penyakit putih pada kulit? Uwais berkata: Ya. Kemudian aku berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla sehingga Dia menghilangkan penyakit itu dariku kecuali seukuran dirham pada pusarku. Agar aku tetap mengingat (nikmat) Rabbku itu. Maka Umar radhiyallahu anhu pun berkata kepadanya: Mohonkanlah ampunan untukku. Uwais berkata: Anda yang lebih layak memohonkan ampunan untuk saya. Anda adalah Sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Umar radhiyallahu anhu berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: << Sesungguhnya tabiin terbaik adalah seorang laki-laki yang disebut Uwais. Dia memiliki seorang ibu. Ia memiliki penyakit putih pada kulitnya, kemudian dia berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla sehingga Allah menghilangkan penyakitnya itu kecuali seukuran dirham pada pusarnya >> maka Uwais pun memohonkan ampunan untuk Umar (H.R Ahmad dari Usair bin Jabir)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika ada orang menyampaikan pesan Umar itu dan meminta agar Uwais memohonkan ampunan untuknya, Uwais mau memohonkan ampunan untuk orang itu, dengan salah satu syaratnya adalah agar orang itu tidak memberitahukan kepada siapapun tentang ucapan Umar tersebut.

مَا أَنَا بِمُسْتَغْفِرٍ لَكَ حَتَّى تَجْعَلَ لِي ثَلَاثًا قَالَ : وَمَا هُنَّ قَالَ : لَا تُؤْذِيْنِي فِيْمَا بَقِيَ وَلَا تُخْبِرْ بِمَا قَالَ لَكَ عُمَرُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ... 

(Uwais al-Qoroniy berkata): Aku tidak akan memohonkan ampunan untukmu hingga engkau memenuhi 3 syarat. Orang itu berkata: Apakah syarat-syaratnya? Uwais berkata: Jangan sakiti aku lagi di masa mendatang (dengan cemoohan atau ejekan, pent), dan jangan beritahukan kepada manusia siapapun ucapan Umar tersebut...(perawi lupa syarat ketiga)(H.R al-Hakim dari Usair bin Jabir, dinyatakan shahih sesuai syarat Muslim oleh adz-Dzahabiy).

Kedua: Saat akan berpisah dengan Umar, Umar menawari Uwais, apakah perlu Umar menuliskan sesuatu perintah kepada pejabat di tempat yang akan dituju Uwais, agar memudahkan urusan atau memberikan bantuan kepada Uwais. Namun Uwais menolaknya.

فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ الْكُوفَةَ قَالَ أَلَا أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا قَالَ أَكُونُ فِي غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيَّ

Umar berkata kepadanya: Ke mana engkau akan pergi? Uwais menjawab: Kufah. Umar berkata: Apakah perlu aku tuliskan sesuatu untuk pejabat di sana? Uwais berkata: Aku menjadi orang lemah, miskin (tak dipandang), lebih aku sukai (H.R Muslim dari Usair bin Jabir)

Uwais pun kembali berbaur dengan manusia, tanpa terlihat ia memiliki keistimewaan dibandingkan orang lain.

Dalam riwayat Ahmad, Usair bin Jabir menceritakan keadaan ketika Uwais berpisah dengan Umar:

ثُمَّ دَخَلَ فِي غِمَارِ النَّاسِ فَلَمْ يُدْرَ أَيْنَ وَقَعَ

Kemudian Uwais berbaur dengan sekumpulan manusia hingga tidak diketahui beliau yang mana (H.R Ahmad)

Ketiga: Tahun berikutnya setelah pertemuan dengan Umar, Umar bertanya kepada orang yang dari Kufah tentang keadaan Uwais. Orang itu menjelaskan bahwa Uwais hidup sederhana dengan harta yang sedikit.

فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ حَجَّ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِهِمْ فَوَافَقَ عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ أُوَيْسٍ قَالَ تَرَكْتُهُ رَثَّ الْبَيْتِ قَلِيلَ الْمَتَاعِ

Ketika pada tahun berikutnya, seorang laki-laki yang termasuk pembesar mereka (Kufah) berhaji. Ia bertemu dengan Umar dan Umar bertanya kepadanya tentang Uwais. Orang itu menyatakan: Aku tinggalkan dia dalam keadaan rumah yang sederhana dan perabotan yang sedikit (H.R Muslim)

Keempat: Jika Uwais memberi nasihat atau mengingatkan orang-orang lain, nasihatnya sangat berkesan di hati. Pengaruhnya sangat kuat dan berkesan, dibandingkan nasihat yang disampaikan orang lain. Namun suatu ketika Uwais tidak terlihat dalam waktu yang lama. Ternyata beliau mendekam di rumahnya karena tidak ada pakaian (bagian atas) yang bisa dikenakan keluar.

ثُمَّ قَدِمَ الْكُوْفَةَ فَكُنَّا نَجْتَمِعُ فِي حَلْقَةٍ فَنَذْكُرُ اللهَ وَكَانَ يَجْلِسُ مَعَنَا فَكَانَ إِذْ ذَكَّرَهُمْ وَقَعَ حَدِيْثُهُ مِنْ قُلُوْبِنَا مَوْقِعًا لَا يَقَعُ حَدِيْثُ غَيْرِهِ فَفَقَدْتُهُ يَوْمًا فَقُلْت لِجَلِيْسٍ لَنَا مَا فَعَلَ الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ يَقْعُدُ إِلَيْنَا لَعَلَّهُ اشْتَكَى فَقَالَ رَجُلٌ مَنْ هُوَ ؟ فَقُلْتُ : مَنْ هُوَ قَالَ : ذَاكَ أُوَيْس الْقَرَنِي فَدَلَلْتُ عَلَى مَنْزِلِهِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللهُ أَيْنَ كُنْتَ وَلِمَ تَرَكْتَنَا فَقَالَ : لَمْ يَكُنْ لِي رِدَاءٌ فَهُوَ الَّذِي مَنَعَنِي مِنْ إِتْيَانِكُمْ

Kemudian Uwais pergi ke Kufah. Kami suka berkumpul untuk mengingat Allah. Uwais juga duduk bersama kami. Jika Uwais mengingatkan (menasihati) mereka yang di majelis, nasihatnya sangat membekas di hati kami, tidak seperti dari orang lain. Suatu hari kami kehilangan dia. Aku berkata kepada teman duduk kami. Apa yang terjadi dengan orang yang biasa duduk bersama kita. Jangan-jangan dia sakit. Ada orang yang bertanya: Siapa dia? Aku pun berkata: Siapa dia? Orang itu berkata: Dia adalah Uwais al-Qoroniy. Aku pun ditunjukkan pada rumahnya. Aku datang ke tempatnya, dan berkata: Semoga Allah merahmati anda. Ke mana anda dan mengapa meninggalkan kami? Uwais berkata: Aku tidak punya ridaa’ (kain bagian atas) untuk dipakai keluar. Itulah yang menghalangi aku untuk berkumpul bersama kalian (H.R al-Hakim)


✅Pemberi Syafaat Manusia dalam Jumlah Besar

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بِشَفَاعَةِ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَكْثَرُ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ 

Akan masuk surga sejumlah orang yang lebih banyak dari Bani Tamim dengan syafaat seorang laki-laki dari umatku (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Bani Tamim adalah suatu kabilah yang sangat besar. Hadits Nabi itu menunjukkan bahwa ada seorang laki-laki dari umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam yang dengan izin Allah memberikan syafaat kepada banyak orang. Saking banyaknya, jumlah orang yang mendapat syafaat dari laki-laki tersebut lebih banyak dibandingkan orang-orang pada Bani Tamim, suatu kabilah yang sangat besar.

Sebagian Ulama ada yang menyatakan bahwa laki-laki pemberi syafaat itu adalah Utsman bin Affan. Sedangkan sebagian Ulama lain ada yang menyatakan bahwa itu adalah Uwais al-Qoroniy. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa orang yang dimaksud Nabi tersebut adalah Uwais al-Qoroniy (al-Mustadrak karya al-Hakim no riwayat 5729 (3/461)).

Para Nabi bisa memberikan syafaat, demikian juga para Malaikat maupun orang sholih. Namun semuanya hanya bisa memberikan syafaat dengan izin Allah Ta’ala. 

...مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ...

...dan siapakah yang bisa memberikan syafaat di sisi-Nya kecuali atas izin-Nya?! (Tidak ada)...(Q.S al-Baqoroh ayat 255)

Pemberian syafaat juga tidak bisa diperoleh jika Allah tidak meridhai:

وَلَا يَشْفَعُوْنَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى

Mereka tidaklah memberikan syafaat kecuali kepada orang yang diridhai (oleh Allah) (Q.S al-Anbiyaa’ ayat 28)

وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى

Betapa banyak Malaikat di langit tidaklah syafaatnya bermanfaat untuk mereka sedikitpun kecuali setelah diizinkan Allah bagi siapa yang dikehendaki dan diridhai-Nya (Q.S anNajm ayat 26)

Salah satu syarat utama untuk mendapatkan syafaat itu adalah orang tersebut mentauhidkan Allah, tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, tidak berbuat kesyirikan. Karena Allah tidaklah meridhai kecuali tauhid. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

لِكُلِّ نَبِىٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِىٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِّى اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِى شَفَاعَةً لأُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهِىَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِى لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا

Setiap Nabi memiliki doa mustajabah. Setiap Nabi telah menyegerakan doanya. Sedangkan aku menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat. Syafaat itu akan diperoleh InsyaAllah bagi orang yang meninggal dari kalangan umatku yang tidak mensekutukan Allah dengan suatu apapun (H.R Muslim dalam Kitabul Iman, dari Abu Hurairah)

✅Nasihat Uwais untuk Membangkitkan Perasaan Takut Kepada Allah

Tidak jarang seseorang merasa aman dari adzab Allah. Meski ia telah banyak berbuat dosa, namun seakan-akan itu tidak berbekas dalam hatinya. Tak ada penyesalan sama sekali. Tidak ada perasaan khawatir sedikitpun bahwa Allah akan mengadzabnya. Lalai, larut dalam menikmati kehidupan dunia.

Salah satu nasihat Uwais al-Qoroniy adalah hendaknya kita merasa sangat takut kepada Allah, seakan-akan kita telah membunuh manusia seluruhnya.

Uwais al-Qoroniy rahimahullah menyatakan:

كُنْ فِي أَمْرِ اللَّهِ كَأَنَّكَ قَتَلْتَ النَّاسَ كُلَّهُمْ

Jadilah engkau dalam urusan Allah, seakan-akan engkau telah membunuh manusia seluruhnya (riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Baihaqiy dalam Syuabul Iman, dan Ibnu Asaakir dalam tarikh Dimasyq)

Bisa dibayangkan jika kita membunuh semua orang, akan terbayang besarnya dosa itu sehingga kita akan berusaha untuk bertaubat dan memperbanyak amal sholih. Kita benar-benar takut Allah akan mengadzab kita akan besarnya dosa tersebut. Hal utama yang mendominasi pikiran kita adalah bagaimana caranya agar Allah mengampuni dosa kita yang sangat besar dan banyak itu.

Seringkali orang meremehkan suatu dosa. Dianggapnya kecil. Padahal bisa jadi dosa-dosa  itu akan membinasakannya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرَبَ لَهُنَّ مَثَلًا كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوا أَرْضَ فَلَاةٍ فَحَضَرَ صَنِيعُ الْقَوْمِ فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَنْطَلِقُ فَيَجِيءُ بِالْعُودِ وَالرَّجُلُ يَجِيءُ بِالْعُودِ حَتَّى جَمَعُوا سَوَادًا فَأَجَّجُوا نَارًا وَأَنْضَجُوا مَا قَذَفُوا فِيهَا

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Hati-hatilah kalian dari dosa-dosa yang dianggap remeh. Karena sesungguhnya dosa-dosa itu akan berkumpul pada seseorang hingga membinasakannya. Dan sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam membuat permisalan, seperti suatu kaum yang singgah di padang luas. Kemudian seorang laki-laki datang dengan membawa ranting (untuk kayu bakar), seorang lagi datang dengan satu ranting, hingga terkumpul banyak. Mereka pun bisa membuat api dan api tersebut bisa memanggang semua yang dilemparkan ke dalamnya (H.R Ahmad, dinyatakan shahih li ghoirihi oleh Syaikh al-Albaniy dalam Shahih atTarghib)


✅Wafat dalam Perang Shiffin

Yahya bin Ma’in rahimahullah menyatakan:

قُتِلَ أُوَيْسُ الْقَرَنِي بَيْنَ يَدَيِ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ يَوْمَ صِفِّيْن

Uwais al-Qoroniy terbunuh di hadapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib pada hari Shiffin (al-Mustadrak alas Shohihayn karya al-Hakim (3/455)).

Semoga Allah Ta’ala merahmati Uwais...sang Tabi’i terbaik.

(Abu Utsman Kharisman)

💡💡📝📝💡💡
WA al I'tishom

Rabu, 25 Maret 2020

ABU BAKR MENJADI SEBAB HIDAYAH SEKELOMPOK ORANG DAN MEMERDEKAKAN HAMBA SAHAYA MUSLIM

💐📝ABU BAKR MENJADI SEBAB HIDAYAH SEKELOMPOK ORANG DAN MEMERDEKAKAN HAMBA SAHAYA MUSLIM

Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu anhu adalah orang yang mulia. Beliau juga berdakwah mengajak orang-orang mulia lain masuk Islam. Beberapa di antaranya adalah orang-orang yang dijamin masuk Surga oleh Nabi, yaitu az-Zubair bin al-Awwam, Utsman bin Affan, Tholhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf (al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir (3/39)).

أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّة

Abu Bakr di Surga, Umar di Surga, Utsman di Surga, Ali di Surga, Tholhah di Surga, az-Zubair di Surga, Abdurrahman bin Auf di Surga, Sa’ad di Surga, Said di Surga, Abu Ubaidah di Surga (H.R atTirmidzi)

✅Memerdekakan Hamba Sahaya yang Disiksa Karena Keimanan Mereka

Hati beliau benar-benar penyayang. Tak tahan melihat orang lain menderita. Terlebih lagi jika orang-orang itu adalah pihak yang lemah yang disiksa karena beriman kepada Allah. 

Setidaknya ada 7 orang hamba sahaya yang Abu Bakr merdekakan agar terlepas dari penderitaan siksa dalam Islam. Dengan sebab perbuatan itulah Allah Ta’ala memberikan gelar kepada Abu Bakr sebagai orang yang sangat bertakwa, menginfaqkan hartanya untuk menyucikan dirinya. Ikhlas karena Allah, bukan karena membalas jasa kepada siapapun.

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ أَعْتَقَ سَبْعَةً كُلَّهُمْ يُعَذَّبَ فِي اللَّهِ، بِلالًا، وَعَامِرَ بْنَ فُهَيْرَةَ، وَالنَّهْدِيَّةَ وَابْنَتَهَا، وَزِنِّيرَةَ، وَأُمَّ عِيسَى، وَأَمَةَ بَنِي الْمُؤَمِّلِ، وَفِيهِ نَزَلَتْ: " وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى " ، إِلَى آخَرِ السُّورَةِ".

Sesungguhnya Abu Bakr as-Shiddiq memerdekakan 7 orang (hamba sahaya) yang semuanya disiksa karena Allah, yaitu Bilal, ‘Aamir bin Fuhayroh, anNahdiyyah dan putrinya, Zinniiroh, Ummu Isa, dan hamba sahaya wanita Bani al-Muammil. Karena Abu Bakr itulah, turun firman Allah :
وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلۡأَتۡقَى ١٧ ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ ١٨ وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةٖ تُجۡزَىٰٓ ١٩ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ ٢٠ وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ ٢١ 

Dan orang-orang yang sangat bertakwa akan dijauhkan darinya (Neraka). Yaitu orang-orang yang memberikan hartanya untuk menyucikan dirinya. Bukan karena adanya kebaikan dari orang lain yang akan dibalasnya. Semata-mata pemberian itu dilakukannya dalam rangka mengharapkan Wajah Rabbnya (ikhlas karena Allah) Yang Paling Tinggi. Maka sungguh dia akan ridha (akan pemberian Rabbnya)(Q.S al-Lail ayat 17-21)(riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya dari Urwah bin az-Zubair)

(dikutip dari buku "Sirah Sahabat bag ke-1", Abu Utsman Kharisman, penerbit atTuqa Yogyakarta)


💡💡📝📝💡💡
WA al I'tishom

Kisah Umar dan Para Sahabat Saat Akan Memasuki Wilayah yang Terkena Wabah

💐📝Kisah Umar dan Para Sahabat Saat Akan Memasuki Wilayah yang Terkena Wabah

Umar dan para Sahabat lain yang masih hidup saat itu pernah hendak memasuki wilayah Syam. Namun, ketika belum masuk wilayah itu, ada laporan dari Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan pasukannya bahwa di Syam sedang terjangkit wabah penyakit.

Umar kemudian bermusyawarah dengan memilih orang-orang pilihan secara bertahap untuk memutuskan apakah pasukan ini terus masuk ke Syam atau kembali pulang. Awalnya, Umar mengajak bermusyawarah khusus Sahabat Muhajirin yang masih hidup. Para Sahabat Muhajirin ini tidak satu suara. Mereka berselisih. Ada yang berpendapat terus masuk ke Syam, ada juga yang berpendapat kembali ke Madinah.

Kemudian Umar mengajak musyawarah kaum Anshar. Demikian juga, ada perbedaan pendapat di antara mereka.

Selanjutnya, Umar mengajak musyawarah masyayikh Quraisy yang berhijrah menjelang Fathu Makkah. Mereka tidak ada yang berselisih, berpendapat bahwa sebaiknya kembali pulang.

Umar pun mengumumkan agar pasukan bersiap pulang esok pagi. Kemudian datang Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu anhu bertanya kepada Umar: Apakah anda lari dari takdir Allah?

Umar menjawab:

نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَتْ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ

Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah. Bukankah jika engkau memiliki unta kemudian berhenti (ada pilihan) pada 2 lembah yang memiliki 2 tempat. Satu tempat subur dan tempat yang lain tandus. Bukankah jika engkau gembalakan untamu di tempat yang subur, engkau menggembalakannya dengan takdir Allah? dan jika engkau gembalakan di tempat yang tandus engkau menggembalakannya dengan takdir Allah?

Setelah itu datanglah Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu yang sebelumnya tidak hadir karena ada suatu keperluan, menyampaikan hadits yang pernah didengarnya dari Nabi shollallahu alaihi wasallam. Abdurrahman bin Auf menyatakan:

إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ 

Sesungguhnya aku memiliki ilmu tentang hal ini. Aku mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika kalian mendengar di suatu tempat (terjangkit wabah) jangan masuk ke dalamnya. Jika (wabah itu) menimpa suatu tempat sedangkan engkau berada di dalamnya, janganlah keluar karena lari dari wabah itu (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Kisah dalam hadits Shahih al-Bukhari dan Muslim tersebut memiliki sekian banyak pelajaran berharga bagi kita. Sedikit faidah atau pelajaran berharaga tersebut di antaranya adalah:

Faidah pertama: Tawadhu’nya Umar. Meski beliau memiliki ilmu yang luas, pemahaman yang kokoh dan akal yang cerdas, bahkan Nabi mengatakan bahwa ia termasuk yang mendapat ilham, namun beliau tetap bermusyawarah. Apalagi hal itu terkait dengan urusan orang banyak.

Faidah kedua: Hendaknya yang diajak musyawarah adalah orang-orang pilihan. Sebaiknya yang diikutkan dalam musyawarah adalah orang-orang yang berjumlah sedikit. Agar tidak banyak perselisihan. Umar pada awalnya mengumpulkan hanya Muhajirin, kemudian Anshar saja, kemudian masyayikh Quraisy yang berhijrah sebelum Fathu Makkah. Hal itu juga menunjukkan bahwa pihak yang diajak bermusyawarah secara terpisah memiliki kekhususan tersendiri. Misalkan, awalnya mengajak musyawarah para pemimpin, kemudian berikutnya mengajak musyawarah tersendiri para Ulama, dan seterusnya.

Faidah ketiga: Melakukan aksi atau tindakan-tindakan tertentu sebagai penyebab adalah bagian dari takdir Allah. Bukan peniadaan terhadap takdir Allah. Seseorang yang tidak mau masuk ke suatu wilayah yang terkena wabah, ia menghindar dari wabah itu karena takdir Allah juga.

Faidah keempat: Musyawarah adalah untuk hal-hal yang tidak memiliki nash hujjah yang jelas. Jika telah ada hujjah dalil yang tegas, itulah yang diambil. Tidak perlu dimusyawarahkan lagi.

Faidah kelima: Diterimanya khabar ahad dalam hadits. Meski pun yang menyampaikan hadits hanya seorang, yaitu Abdurrahman bin Auf saja, itu sudah cukup dan diterima.

Faidah keenam: Kadangkala seseorang yang berilmu tidak mengetahui suatu hadits. Ada orang yang tingkatan keilmuannya di bawahnya, pernah mengetahui adanya suatu hadits. Sekian banyak Sahabat termasuk Umar tidak pernah mendengar hadits Nabi itu. Barulah mereka tahu setelah disampaikan oleh Abdurrahman bin Auf.

(disarikan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Ta'liq ala Shahih Muslim (7/20-26))

(dikutip dari buku "Sirah Sahabat bag ke-1", Abu Utsman Kharisman, penerbit atTuqa)

💡💡📝📝💡💡
WA al I'tishom