Rabu, 25 Maret 2020

ABU BAKR MENJADI SEBAB HIDAYAH SEKELOMPOK ORANG DAN MEMERDEKAKAN HAMBA SAHAYA MUSLIM

💐📝ABU BAKR MENJADI SEBAB HIDAYAH SEKELOMPOK ORANG DAN MEMERDEKAKAN HAMBA SAHAYA MUSLIM

Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu anhu adalah orang yang mulia. Beliau juga berdakwah mengajak orang-orang mulia lain masuk Islam. Beberapa di antaranya adalah orang-orang yang dijamin masuk Surga oleh Nabi, yaitu az-Zubair bin al-Awwam, Utsman bin Affan, Tholhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf (al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir (3/39)).

أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّة

Abu Bakr di Surga, Umar di Surga, Utsman di Surga, Ali di Surga, Tholhah di Surga, az-Zubair di Surga, Abdurrahman bin Auf di Surga, Sa’ad di Surga, Said di Surga, Abu Ubaidah di Surga (H.R atTirmidzi)

✅Memerdekakan Hamba Sahaya yang Disiksa Karena Keimanan Mereka

Hati beliau benar-benar penyayang. Tak tahan melihat orang lain menderita. Terlebih lagi jika orang-orang itu adalah pihak yang lemah yang disiksa karena beriman kepada Allah. 

Setidaknya ada 7 orang hamba sahaya yang Abu Bakr merdekakan agar terlepas dari penderitaan siksa dalam Islam. Dengan sebab perbuatan itulah Allah Ta’ala memberikan gelar kepada Abu Bakr sebagai orang yang sangat bertakwa, menginfaqkan hartanya untuk menyucikan dirinya. Ikhlas karena Allah, bukan karena membalas jasa kepada siapapun.

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ أَعْتَقَ سَبْعَةً كُلَّهُمْ يُعَذَّبَ فِي اللَّهِ، بِلالًا، وَعَامِرَ بْنَ فُهَيْرَةَ، وَالنَّهْدِيَّةَ وَابْنَتَهَا، وَزِنِّيرَةَ، وَأُمَّ عِيسَى، وَأَمَةَ بَنِي الْمُؤَمِّلِ، وَفِيهِ نَزَلَتْ: " وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى " ، إِلَى آخَرِ السُّورَةِ".

Sesungguhnya Abu Bakr as-Shiddiq memerdekakan 7 orang (hamba sahaya) yang semuanya disiksa karena Allah, yaitu Bilal, ‘Aamir bin Fuhayroh, anNahdiyyah dan putrinya, Zinniiroh, Ummu Isa, dan hamba sahaya wanita Bani al-Muammil. Karena Abu Bakr itulah, turun firman Allah :
وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلۡأَتۡقَى ١٧ ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ ١٨ وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةٖ تُجۡزَىٰٓ ١٩ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ ٢٠ وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ ٢١ 

Dan orang-orang yang sangat bertakwa akan dijauhkan darinya (Neraka). Yaitu orang-orang yang memberikan hartanya untuk menyucikan dirinya. Bukan karena adanya kebaikan dari orang lain yang akan dibalasnya. Semata-mata pemberian itu dilakukannya dalam rangka mengharapkan Wajah Rabbnya (ikhlas karena Allah) Yang Paling Tinggi. Maka sungguh dia akan ridha (akan pemberian Rabbnya)(Q.S al-Lail ayat 17-21)(riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya dari Urwah bin az-Zubair)

(dikutip dari buku "Sirah Sahabat bag ke-1", Abu Utsman Kharisman, penerbit atTuqa Yogyakarta)


💡💡📝📝💡💡
WA al I'tishom

Kisah Umar dan Para Sahabat Saat Akan Memasuki Wilayah yang Terkena Wabah

💐📝Kisah Umar dan Para Sahabat Saat Akan Memasuki Wilayah yang Terkena Wabah

Umar dan para Sahabat lain yang masih hidup saat itu pernah hendak memasuki wilayah Syam. Namun, ketika belum masuk wilayah itu, ada laporan dari Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan pasukannya bahwa di Syam sedang terjangkit wabah penyakit.

Umar kemudian bermusyawarah dengan memilih orang-orang pilihan secara bertahap untuk memutuskan apakah pasukan ini terus masuk ke Syam atau kembali pulang. Awalnya, Umar mengajak bermusyawarah khusus Sahabat Muhajirin yang masih hidup. Para Sahabat Muhajirin ini tidak satu suara. Mereka berselisih. Ada yang berpendapat terus masuk ke Syam, ada juga yang berpendapat kembali ke Madinah.

Kemudian Umar mengajak musyawarah kaum Anshar. Demikian juga, ada perbedaan pendapat di antara mereka.

Selanjutnya, Umar mengajak musyawarah masyayikh Quraisy yang berhijrah menjelang Fathu Makkah. Mereka tidak ada yang berselisih, berpendapat bahwa sebaiknya kembali pulang.

Umar pun mengumumkan agar pasukan bersiap pulang esok pagi. Kemudian datang Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu anhu bertanya kepada Umar: Apakah anda lari dari takdir Allah?

Umar menjawab:

نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَتْ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ

Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah. Bukankah jika engkau memiliki unta kemudian berhenti (ada pilihan) pada 2 lembah yang memiliki 2 tempat. Satu tempat subur dan tempat yang lain tandus. Bukankah jika engkau gembalakan untamu di tempat yang subur, engkau menggembalakannya dengan takdir Allah? dan jika engkau gembalakan di tempat yang tandus engkau menggembalakannya dengan takdir Allah?

Setelah itu datanglah Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu yang sebelumnya tidak hadir karena ada suatu keperluan, menyampaikan hadits yang pernah didengarnya dari Nabi shollallahu alaihi wasallam. Abdurrahman bin Auf menyatakan:

إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ 

Sesungguhnya aku memiliki ilmu tentang hal ini. Aku mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika kalian mendengar di suatu tempat (terjangkit wabah) jangan masuk ke dalamnya. Jika (wabah itu) menimpa suatu tempat sedangkan engkau berada di dalamnya, janganlah keluar karena lari dari wabah itu (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Kisah dalam hadits Shahih al-Bukhari dan Muslim tersebut memiliki sekian banyak pelajaran berharga bagi kita. Sedikit faidah atau pelajaran berharaga tersebut di antaranya adalah:

Faidah pertama: Tawadhu’nya Umar. Meski beliau memiliki ilmu yang luas, pemahaman yang kokoh dan akal yang cerdas, bahkan Nabi mengatakan bahwa ia termasuk yang mendapat ilham, namun beliau tetap bermusyawarah. Apalagi hal itu terkait dengan urusan orang banyak.

Faidah kedua: Hendaknya yang diajak musyawarah adalah orang-orang pilihan. Sebaiknya yang diikutkan dalam musyawarah adalah orang-orang yang berjumlah sedikit. Agar tidak banyak perselisihan. Umar pada awalnya mengumpulkan hanya Muhajirin, kemudian Anshar saja, kemudian masyayikh Quraisy yang berhijrah sebelum Fathu Makkah. Hal itu juga menunjukkan bahwa pihak yang diajak bermusyawarah secara terpisah memiliki kekhususan tersendiri. Misalkan, awalnya mengajak musyawarah para pemimpin, kemudian berikutnya mengajak musyawarah tersendiri para Ulama, dan seterusnya.

Faidah ketiga: Melakukan aksi atau tindakan-tindakan tertentu sebagai penyebab adalah bagian dari takdir Allah. Bukan peniadaan terhadap takdir Allah. Seseorang yang tidak mau masuk ke suatu wilayah yang terkena wabah, ia menghindar dari wabah itu karena takdir Allah juga.

Faidah keempat: Musyawarah adalah untuk hal-hal yang tidak memiliki nash hujjah yang jelas. Jika telah ada hujjah dalil yang tegas, itulah yang diambil. Tidak perlu dimusyawarahkan lagi.

Faidah kelima: Diterimanya khabar ahad dalam hadits. Meski pun yang menyampaikan hadits hanya seorang, yaitu Abdurrahman bin Auf saja, itu sudah cukup dan diterima.

Faidah keenam: Kadangkala seseorang yang berilmu tidak mengetahui suatu hadits. Ada orang yang tingkatan keilmuannya di bawahnya, pernah mengetahui adanya suatu hadits. Sekian banyak Sahabat termasuk Umar tidak pernah mendengar hadits Nabi itu. Barulah mereka tahu setelah disampaikan oleh Abdurrahman bin Auf.

(disarikan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Ta'liq ala Shahih Muslim (7/20-26))

(dikutip dari buku "Sirah Sahabat bag ke-1", Abu Utsman Kharisman, penerbit atTuqa)

💡💡📝📝💡💡
WA al I'tishom

Senin, 09 Maret 2020

PAMAN, LIHATLAH, BIDADARI YANG PERNAH KUCERITAKAN PADAMU ADA DI DEKATKU... DIA MENUNGGU RUHKU KELUAR..

📢🌹 *(KISAH MENAKJUBKAN DI MASA TABI’IN)*

°°°°°°°°
PAMAN, LIHATLAH, BIDADARI YANG PERNAH KUCERITAKAN PADAMU ADA DI DEKATKU... DIA MENUNGGU RUHKU KELUAR..
°°°°°°°°°
 

🍃Hari itu, di salah satu sudutnya Masjid Nabawi berkumpullah Abu Qudamah dan para sahabatnya.

Di hati para sahabatnya, Abu Qudamah adalah orang yang sangat dikagumi. Itu karena Abu Qudamah adalah seorang mujahid. Berjihad dari satu front ke medan-medan jihad lainnya. Seolah hidup beliau, beliau persembahkan untuk berjihad.
Debu yang beterbangan, kilatan pedang, hempasan anak panah, derap kuda adalah hal yang sudah biasa bagi beliau. Pengalaman, tragedi, kisah dan momen pun telah banyak beliau saksikan di setiap gelanggang perjuangan jihad.

”Abu Qudamah, ceritakanlah pada kami kisah paling mengagumkan di hari-hari jihadmu,” 
tiba-tiba salah seorang sahabatnya meminta.

“Ya,” jawab Abu Qudamah.

"Beberapa tahun lalu. Aku singgah di kota Recca. Aku ingin membeli onta untuk membawa persenjataanku.
Saat aku sedang bersantai di penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan. Ku buka ternyata seorang perempuan.

”Engkaukah Abu Qudamah?” tanyanya.
”Engkaukah yang menghasung umat manusia untuk berjihad?” pertanyaannya yang kedua.

“Sungguh, Allah telah menganugerahiku rambut yang tak dimiliki wanita lain. Kini aku telah memotongnya. Aku kepang agar bisa menjadi tali kekang kuda. Aku pun telah menutupinya dengan debu agar tak terlihat.
Aku berharap sekali agar engkau membawanya. Engkau gunakan saat menggempur musuh, saat jiwa kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan saat kau menghunus pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat.
Kalau pun engkau tak membutuhkan, ku mohon berikanlah pada mujahid yang lain. Aku berharap agar sebagian diriku ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi sabilillah.
Aku adalah seorang janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya telah mati syahid fi sabilillah. Kalau pun syariat mengizinkan aku berperang, aku akan memenuhi seruannya,”
 ungkapnya sembari menyerahkan kepangan rambutnya.

Aku hanya diam membisu. Mulutku kelu walau tuk mengucapkan “iya”.

”Abu Qudamah, walaupun suamiku terbunuh, namun ia telah mendidik seorang pemuda hebat. Tak ada yang lebih hebat darinya.
Ia telah menghapal Al-Qur’an. Ia mahir berkuda dan memanah. Ia senantiasa sholat malam dan berpuasa di siang hari. Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi penerus suamiku. Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. Aku persembahkan dia untuk Allah. Ku mohon jangan halangi aku dari pahala,” 
kata-kata sendu terus mengalir dari bibirnya.

Adapun aku masih diam membisu. Memahami kalimat per kalimat darinya. Lalu tanpa sadar perhatianku tertuju pada kepangan rambutnya.
”Letakkanlah dalam barang bawaanmu agar kalbuku tenang,”
 pintanya.
Tahu aku memperhatikan kepangan rambutnya.

Aku pun segera meletakkannya bersama barang bawaanku. Seolah aku tersihir dengan kata-kata dan himmah (tekad) nya yang begitu mengharukan.

💨Keesokan harinya, aku bersama pasukan beranjak meninggalkan Recca. Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda yang memanggil-manggil.

“Abu Qudamah!” serunya.

“Abu Qudamah, tunggu sebentar, semoga Allah merahmatimu.”

Kaki pun terhenti. Lalu aku berpesan kepada pasukan, “tetaplah di tempat hingga aku mengetahui orang ini.”

Dia mendekat dan memelukku.

”Alhamdulillah, Allah memberiku kesempatan menjadi pasukanmu. Sungguh Dia tidak ingin aku gagal,” ucapnya.

“Kawan, singkaplah kain penutup kepalamu dahulu,” pintaku.

Ia pun menyingkapnya. Ternyata wajahnya bak bulan purnama. Terpancar darinya cahaya ketaatan.

”Kawan, apakah engkau memiliki Abi?” tanyaku.

“Justru aku keluar bersamamu hendak menuntut balas kematian Abi. Dia (insya Allah) telah mati syahid. Semoga saja Allah menganugerahiku syahid seperti Abi,” jawabnya.

“Lalu, bagaimana dengan Ummi? Mintalah restu darinya terlebih dahulu. Jika merestui, ayo. Jika tidak, layanilah beliau. Sungguh baktimu lebih utama dibandingkan jihad. Memang, jannah di

bawah bayangan pedang, namun juga di bawah telapak kaki ibu”

“Duhai Abu Qudamah. Tidakkah engkau mengenaliku.”

“Tidak.”

“Aku putra pemilik titipan itu. Betapa cepatnya engkau melupakan titipan Ummi, pemilik kepangan rambut itu”

“Aku, insya Allah, adalah seorang syahid putra seorang syahid. Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, jangan kau halangi aku ikut berjihad fi sabilillah bersamamu. Aku telah menyelesaikan Al-Qur’an. Aku juga telah mempelajari Sunnah Rasul. Aku pun lihai menunggang kuda dan memanah. Tak ada seorang pun lebih berani dariku. Maka, janganlah kau remehkan aku hanya karena aku masih belia.”

"Ummi telah bersumpah agar aku tidak kembali. Beliau berpesan; 'Nak, jika kau telah melihat musuh, jangan pernah kau lari. Persembahkanlah ragamu untuk Allah. Carilah kedudukan di sisi Allah. Jadilah tetangga Abimu dan paman-pamanmu yang sholeh di jannah. Jika nantinya kau menjadi syahid, jangan kau lupakan Ummi. Berilah Ummi syafa’at. Aku pernah mendengar faedah bahwa seorang syahid akan memberi syafaat untuk 70 orang keluarganya dan juga 70 orang tetangganya. Ummi pun memelukku dengan erat dan mendongakkan kepalanya ke langit;

'Rabbku.. Maulaku.. Inilah putraku, penyejuk jiwaku, buah hatiku.. aku persembahkan ia untukmu. Dekatkanlah ia dengan ayahnya,” 
terang sang pemuda.Kata-katanya terus mendobrak tanggul air mataku. 

Dan akhirnya aku benar-benar tak kuasa menahannya. Aku tersedu-sedu. Aku tak tega melihat wajahnya yang masih muda, namun begitu tinggi tekadnya. Aku pun tak bisa membayangkan kalbu sang ibu. Betapa sabarnya ia.

Melihatku menangis, sang pemuda bertanya, 
“Paman, apa gerangan tangisanmu ini? Jika sebabnya adalah usiaku, bukankah ada orang yang lebih muda dariku, namun Allah tetap mengadzabnya jika bermaksiat !?”

“Bukan,” aku segera menyanggah.

“Bukan lantaran usiamu. Namun aku menangis karena kalbu ibumu. Bagaimana jadinya nanti jika engkau gugur?”

🌴Akhirnya aku menerimanya sebagai bagian dari pasukan. Siang malam si pemuda tak pernah jemu berdzikir kepada Allah Ta’ala. Saat pasukan bergerak, ia yang paling lincah mengendalikan kuda. Saat pasukan berhenti istirahat, ia yang paling aktif melayani pasukan. Semakin kita melangkah, tekadnya juga semakin membuncah, semangatnya semakin menjulang, kalbunya semakin lapang dan tanda-tanda kebahagiaan semakin terpancar darinya.

Kami terus berjalan menyusuri hamparan bumi nan luas. Hingga kami tiba di medan laga bersamaan dengan bersiap-siapnya matahari untuk terbenam. Sesampainya, sang pemuda memaksakan diri menyiapkan hidangan berbuka untuk pasukan.  Memang, hari itu kami berpuasa. Dan dikarenakan hal inilah juga khidmatnya kepada pasukan selama perjalanan, dia tertidur pulas. Pulas sekali hingga kami iba membangunkan. 

Akhirnya, kami sendiri yang menyiapkannya dan membiarkan si pemuda tidur. Saat tidur, tiba-tiba bibirnya mengembang menghiasi wajahnya.

”Lihatlah, ia tersenyum!” kataku pada teman keheranan.

Setelah bangun, aku bertanya padanya, “kawan, saat tertidur kau tersenyum. Apa gerangan mimpimu?”

“Aku mimpi indah sekali. Membuatku bahagia,” jawabnya

”Ceritakanlah padaku!” pintaku penasaran.”

📢"Aku seperti di sebuah taman hijau nan permai. Indah sekali. Pemandangannya menarik kalbuku untuk berjalan-jalan. Saat asyik berjalan, tiba-tiba aku berdiri di depan istana perak, balkonnya dari batu permata dan mutiara serta pintu-pintunya dari emas. Sayang, tirai-tirainya terjuntai, menghalangiku dari bagian dalam istana. Namun tak lama, keluarlah gadis-gadis menyingkap tirai-tirainya.

Sungguh wajah mereka bagaikan rembulan. Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, amboi cantiknya.”Marhaban,” kata salah seorang dari mereka tahu ku memandanginya.
Aku pun tak tahan hendak menjulurkan tangan menyentuhnya. Belum sampai tangan ini menyentuh, dia berkata, “Belum. Ini belum waktunya. Janganlah terburu-buru.”
Telingaku juga menangkap sebuah suara salah seorang mereka, “Ini suami Al Mardhiyah.”
Mereka berkata kepadaku, ”kemarilah, yarhamukalloh.”
Baru saja kakiku hendak melangkah, ternyata mereka telah berdiri di depanku.

Mereka

awaku ke atas istana. Di sebuah kamar, seluruhnya dari emas merah yang berkilauan indahnya. Dalam kamar itu ada dipan yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih. Dan di atasnya. . .seorang gadis belia dengan wajah bersinar lebih indah dari sekedar rembulan!!
Kalaulah Allah tidak memantapkan kalbu dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tak kuasa menatap kecantikannya!!
“Marhaban, ahlan wa sahlan, duhai wali Allah. Sungguh engkau adalah milikku dan aku adalah milikmu” katanya menyambutku, membuatku tak terasa hendak memeluknya.
”Sebentar...Janganlah terburu-buru. Belum waktunya. Aku berjanji padamu, kita bertemu besok selepas sholat dhuhur. Bergembiralah,” 
sang pemuda mengakhiri kisahnya. 

🔖Lalu, aku berusaha membangkitkan himmahnya, 
“Kawan, mimpimu begitu indah. Engkau akan melihat kebaikan nantinya.” Kami pun bermalam dengan perasaan takjub dan kagum akan mimpi sang pemuda.

📍Esok hari, kami bersiap menghadapi kaum kafir. Barisan diluruskan, formasi dan strategi dimatangkan, senjata tergenggam kuat dan tali kekang kuda dipegang erat.

Semangat pun semakin berkobar saat mendengar hasungan, 
“wahai segenap para tentara Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian. Bergembiralah dengan jannah. Majulah kalian, baik terasa ringan oleh kalian ataupun terasa berat.”

Tak lama, skuadron pasukan kuffar tiba di hadapan kami. Banyak sekali, bagaikan belalang yang menyebar kemana-mana.Perang campuh pun terjadi. Kesunyian pagi hari sontak terpecah oleh teriakan skuadron kuffar dan gema takbir kaum muslimin. 
Suara senjata yang saling beradu, berbaur dengan riuh rendah suara para prajurit yang sedang bertaruh nyawa.

Tiba-tiba aku mengkhawatirkan pemuda itu. Iya, dimana pemuda itu…Dimana pemuda itu ? Ku berusaha mencari di tengah medan laga. Ternyata dia di barisan depan pasukan muslimin. Dia merangsek maju, menyibak skuadron kuffar dan memporak porandakan barisan mereka.

Dia bertempur dengan hebatnya. Dia mampu melumpuhkan begitu banyak pasukan kuffar. Namun begitu, tetap saja hati ini tak tega melihatnya. Aku segera menyusulnya di depan.

“Kawan, kau masih terlalu muda. Kau tak tahu betapa liciknya pertempuran. Kembalilah ke belakang,” 
teriakku mencoba menyaingi suara riuh pertempuran, sambil menarik tali kekang kudanya.

“Paman, tidakkah kau membaca ayat {{ wahai segenap kaum mukmin, jika kalian telah bercampuh dengan kaum kuffar, maka janganlah kalian mundur ke belakang }} [Al Anfal:15]. Sudikah engkau aku masuk neraka ?” serunya menimpali. 

Saat kucoba memahamkannya, serbuan kavelari kuffar memisahkan kami. Aku berusaha mengejarnya, namun sia-sia. Peperangan semakin bergejolak.

Dalam kancah pertempuran, terdengarlah derap kaki kuda diiringi gemerincing pedang dan hujan panah. Lalu mulailah kepala berjatuhan satu persatu. Bau anyir darah tercium dimana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan tubuh tak bernyawa tergeletak bersimbah darah. Demi Allah, perang itu telah menyibukkan tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabetan dan kilatan pedang di atas kepala yang tak henti-hentinya, menjadikan suhu memuncak. Kedua pasukan bertempur habis-habisan.

▪Saat perang usai, aku segera mencari si pemuda. Terus mencari di medan laga. Aku khawatir dia termasuk yang terbunuh. Aku berkeliling mengendarai kuda di sekitar kumpulan korban. Mayat demi mayat, sungguh wajah mereka tak dapat dikenali, saking banyaknya darah bersimbah dan debu menutupi.

Dimana sang pemuda ? Aku terus melanjutkan pencarian. Dan tiba-tiba aku mendengar suara lirih, 
”Kaum muslimin, panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari!”

Itu suaranya, teriakku dalam kalbu. Kucari sumber suara, ternyata benar, si pemuda. Berada di tengah-tengah kuda bergelimpangan. Wajahnya bersimbah darah dan tertutup debu.  Hampir aku tak mengenalnya.

💦Aku segera mendatanginya. “Aku di sini! Aku di sini! Aku Abu Qudamah!” isakku tak kuasa menahan tangis. 

Aku sisingkan sebagian kainku dan mengusap darah yang menutupi wajah polosnya.

”Paman, demi Rabb ka’bah, aku telah meraih mimpiku. Akulah putra ibu pemilik

kepang itu. Aku telah berbakti padanya, ku kecup keningnya dan ku hapus debu dan darah yang terkadang mengalir diwajahnya,” kenangnya. 

💦Sungguh aku benar-benar tak kuasa dengan kejadian ini.
“Kawan, janganlah kau lupakan pamanmu ini. Berilah dia syafa’at nanti di hari kiamat.”

“Orang sepertimu tak kan pernah kulupakan.”
”Jangan!” serunya lagi saat kucoba mengusap wajahnya. 

“Jangan kau usap wajahku dengan kainmu. Kainku lebih berhak untuk itu. Biarkanlah darah ini mengalir hingga aku menemui Rabb-ku, paman."

"Paman, lihatlah, bidadari yang pernah kuceritakan padamu ada di dekatku. Dia menunggu ruhku keluar. Dengarkanlah kata-katanya; 'sayang, bersegeralah. Aku rindu.'

"Paman, demi Allah, tolong bawalah bajuku yang berlumuran darah ini untuk Ummi. Serahkanlah padanya, agar beliau tahu aku tak pernah menyia-nyiakan petuahnya. Juga agar beliau tahu aku bukanlah pengecut melawan kaum kafir yang busuk itu. Sampaikanlah salam dariku dan katakan hadiahmu telah diterima Allah. Paman, saat berkunjung ke rumah nanti, kau akan bertemu adik perempuanku. Usianya sekitar sepuluh tahun. Jika aku datang, ia sangat gembira menyambutku. Dan jika aku pergi, ia paling tidak mau kutinggalkan."

"Saat ku meninggalkannya kali ini, ia mengharapkanku cepat kembali. “Kak, cepat pulang, ya.” Itulah kata-katanya yang masih terngiang di telingaku. Jika engkau bertemu dengannya, sampaikan salamku padanya dan katakan; 'Allah-lah yang akan menggantikan kakak sampai hari kiamat, ” 
kata-katanya terus membuat air mataku meleleh. 

💦Menetes dan terus menetes membuat aliran sungai di pipi.
”Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syarikalah, sungguh benar janji-Nya. Wa asyhadu anna muhammadarrosululloh. Inilah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya dan nyatalah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya,” 
itulah kata-kata terakhirnya sebelum ruh berlepas dari jasadnya. 

Lalu aku mengkafaninya dan menguburkannya.
Aku harus segera ke Recca, tekadku. Aku segera pergi ke Recca. Tak lain dan tak bukan tujuanku hanyalah ibu si pemuda.

Celakanya aku, aku belum mengetahui nama si pemuda dan dimana rumahnya. Aku berkelililing ke seluruh kota Recca. Setiap sudut, gang dan jalan ku telusuri. Dan akhirnya aku mendapatkan seorang gadis mungil. Wajahnya bersinar mirip si pemuda.

Ia melihat-lihat setiap orang yang berlalu di depannya. Tiap kali melihat orang baru datang dari bepergian, ia bertanya, 
“Paman, anda datang darimana?”

“Aku datang dari jihad,” kata lelaki itu.

“Kalau begitu kakakku ada bersamamu?” tanyanya

“Aku tak kenal, siapa kakakmu.” kata lelaki itu sambil berlalu.

Lalu lewatlah orang kedua dan tanyanya, “Paman, anda datang dari mana?”

“Aku datang dari jihad,” jawabnya.

“Kakakku ada bersamamu?”, tanya gadis itu.

“Aku tak kenal, siapa kakakmu.” jawabnya sambil berlalu.

💦Gadis itu pun tak bisa menahan rindu kepada sang kakak. Sambil terisak-isak, dia berkata,
”mengapa mereka semua kembali dan kakakku tak kunjung kembali?”

Aku iba kepadanya. Ku coba menghampiri tanpa membawa ekspresi kesedihan.
“Adik kecil, bilang sama Ummi, Abu Qudamah datang.”

Mendengar suaraku, sang ibu keluar.
”Assalamu’alaiki,” salamku.”Wa’alaikum salam,” jawabnya.

“Engkau ingin memberiku kabar gembira atau berbela sungkawa?” lanjutnya.

“Maksud, ibu ?”

“Jika putraku datang denga selamat, berarti engkau berbela sungkawa. Jika dia mati syahid, berarti engkau kemari membawa kabar gembira,” terangnya.

”Bergembiralah. Allah telah menerima hadiahmu.”

Ia pun menangis terharu. 
“Benarkah?”
“Iya."
Benar-benar ia tak kuasa menahan tangis.

”Alhamdulillah.Segala puji milik Allah yang telah menjadikannya tabunganku di hari kiamat,” pujinya kepada Zat Yang Maha Kuasa.

Para sahabat Abu Qudamah mendengarkan kisahnya dengan penuh kekaguman.

”Lalu gadis kecil itu bagaimana?” tanya salah seorang dari mereka.

”Dia mendekat kepadaku. Dan kukatakan padanya, 
'Kakakmu menitipkan salam padamu dan berkata; 'Dik, Allah-lah yang menggantikanku sampai hari kiamat nanti”.

💦 Tiba-tiba dia menangis sekencang-kencangnya. Wajahnya pucat. Terus menangis hingga tak sadarkan diri. Dan

telah itu nyawanya tiada.

☔Sang ibu mendekapnya dan menahan sabar atas semua musibah yang menimpanya. Aku benar-benar terharu melihat kejadian ini. Aku serahkan padanya sekantong uang, berharap bisa mengurangi bebannya. Sang ibu pun melepas kepergianku.  Aku meninggalkan mereka dengan kalbu yang penuh kekaguman, ketabahan sang ibu, sifat ksatria sang pemuda dan cinta gadis kecil itu kepada kakaknya…(SELESAI)
—————————————————————-

🌻Ya Rohman Ya Rohiim Kabulkanlah seuntai do’a kami. Memang terasa berat meniti jalan jannah-Mu. Syahwat yang selalu menyambar, Syubhat yang terus menghantam, setan yang tak pernah menyerah dan nafsu jahat yang senantiasa memberontak. Sedangkan kalbu ini lemah, ya Rabb.
Kalaulah bukan karena-Mu, tidaklah kami ini berislam. Tidak pula mengerjakan sholat, tidak pula bersedekah. Teguhkanlah kaki kami di atas jalan-Mu ini !

————————————————–
Oleh Al-Akh Yahya Al-Windany
Diterjemahkan dengan beberapa editing tanpa merubah tujuan dan makna dari Kitab ‘Uluwwul Himmah indan Nisaa’, 212-217.

Lihat juga:
1. Masyari’ul Asywaqi ila Mashori’il Usysyaqi: 1/285-290.2.

Sifatush Shofwah: 2/369-3703.

Tarikh Islam: 1/214-215
————————————————–
Semoga Bermanfaat ! Baarakallahufiykum.

Di kutip dari: Postingan abu Tsabit di Majmu’ah WIC (warta ikhwah cikarang)
WA TIC (Tholibul Ilmi Cikarang)

http://www.darussalaf.or.id/sirah/paman-lihatlah-bidadari-yang-pernah-kuceritakan-padamu-ada-di-dekatku-dia-menunggu-ruhku-keluar/

•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
Diposting ulang 
Kamis, 30 Jumadil Awal  1437 H / 10 Maret 2016
WA🌹syarhus sunnah lin nisaa`
channel telegram: http://bit.ly/syarhussunnahlinnisa

••✿❁✿✿❁✿✿❁✿✿❁✿••

•••┈••••○❁ ✍ ❁○••••┈•••

🌐 Kunjungi : http://salafyngawi.or.id
✈ Joint Channel Telegram : https://telegram.me/salafy_ngawi
📻 Dengarkan Kajian Islam Ilmiyyah di Rasyidah 105.1 FM Ngawi
📲 Siaran radio online via Android :
http://bit.ly/AplikasiRadioIslamIndonesia

📝 *Forum Ahlussunnah Ngawi* 📚
➖➖➖➖➖➖
🅾 IMS / Ikhwah Magelang & Sekitar

♻ Join & ikuti chanel Ma'had Minhajus Sunnah :
✅ https://bit.ly/SyiarIslam
✅ https://tlgrm.me/salafymagelang
✅ http://salafymagelang.com