PERPISAHAN ANAK DAN ORANG TUA
(Jangan disimak sebelum siapin tisu)
https://chat.whatsapp.com/IYiVXGq08rF6owVZ5g5F3f
Suatu hari, dengan duduk di sisi jalan, aku menanti lewatnya Harun Ar-Rasyid. Harun Ar-Rasyid pun melintas.
“Wahai Amirul Mukminin, ada titipan untukmu!” kataku seraya memperlihatkan cincin itu.
Maka, Harun Ar-Rasyid menyuruh anak buahnya membawaku untuk pergi ke istana.
Sesampainya di sana, Harun Ar-Rasyid memanggilku dan menyuruh keluar semua orang yang ada di tempat itu.
“Siapa Anda?” tanya Harun
Ar Rasyid.
“’Abdullah bin Faraj.”
“Dari mana kamu mendapatkan cincin itu?”
Akupun kemudian menuturkan kisah seorang pemuda.
Suatu hari, aku memerlukan buruh harian untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Maka aku pun pergi ke pasar. Sesampainya di sana, aku menemukan sekumpulan buruh harian.
Ternyata di barisan paling belakang ada seorang pemuda berjubah dan berpakaian dari bulu yang wajahnya pucat pasi. Ia membawa keranjang besar.
“Kamu mau bekerja?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya.
“Berapa bayarannya?”
“Satu seperenam dirham.”
“Baiklah!”
“Tapi, ada syaratnya.”
“Apa syaratnya?” tanyaku.
“Jika waktu Zhuhur tiba dan muadzin telah mengumandangkan adzan, aku akan berhenti bekerja; kemudian bersuci dan menunaikan shalat secara berjamaah di masjid. Lalu kembali bekerja lagi. Demikian pula pada waktu shalat Ashar,” pintanya.
“Baiklah!”
Akupun menyuruhnya memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya.
Pemuda itu pun mengikat tubuhnya lalu mulai bekerja dan sama sekali tidak mengajakku bicara hingga muadzin mengumandangkan adzan Zhuhur.
“Hai, hamba Allah. Muadzin telah mengumandangkan adzan,” serunya.
“Silakan!” jawabku.
Ia pergi dan menunaikan shalat. Setelah pulang, ia kembali bekerja dengan baik hingga muadzin mengumandangkan adzan untuk shalat ashar.
“Hai, hamba Allah. Muadzin telah mengumandangkan adzan,” serunya.
“Silakan!” jawabku.
Ia pergi dan menunaikan shalat Ashar. Setelah pulang, ia kembali bekerja hingga sore.
Akupun kemudian memberinya upah. Setelah itu, pemuda tersebut pulang.
Beberapa waktu berselang, aku membutuhkan lagi seorang buruh.
“Carilah buruh muda kemarin. Sungguh ia telah memberi teladan kepada kita ketika bekerja,” pinta istriku.
Lalu aku pergi ke pasar, namun tidak melihatnya. Kemudian aku menanyakan kepada orang-orang di pasar.
“Anda menanyakan pemuda yang pucat dan lemah yang tidak kami lihat selain hari Sabtu dan yang tidak duduk kecuali sendirian di bagian belakang?” jawab orang di pasar.
Maka aku pun pulang.
Barulah pada hari Sabtu aku pergi ke pasar. Benar, saya pun menemukannya.
“Kamu mau bekerja?”
“Anda telah mengetahui upah dan syaratnya.”
“Ya, aku menyetujuinya.”
Ia bangkit dan bekerja dengan baik seperti sebelumnya. Ketika tiba saatnya memberi upah, aku menambahinya.
Ternyata pemuda itu menolak menerima tambahannya.
Namun, aku memaksanya untuk menerima.
Kali ini pemuda itu merasa risih sehingga ia pergi meninggalkanku.
Akupun merasa cemas. Lalu aku pun buntuti dan bujuk sampai akhirnya ia mau menerima, tetapi hanya upahnya saja.
Beberapa waktu kemudian, aku kembali hendak memerlukannya. Aku pergi ke pasar pada hari Sabtu namun tidak menemukannya.
“Ia sakit,” jawab seseorang.
“Ia hanya datang ke pasar setiap hari Sabtu untuk bekerja dengan upah satu seperenam dirham. Setiap hari ia menghabiskan seperenam dirham untuk makan. Dan kini ia telah jatuh sakit.
Aku menanyakan rumahnya untuk membesuk. Maka, ada yang mengabarkan bahwa dia berada di rumah seorang wanita tua.
“Apakah di sini tinggal seorang pemuda yang biasa bekerja sebagai buruh harian?” tanyaku.
“Ya, ia sakit sejak beberapa hari yang lalu.”
Aku masuk dan mendapatinya sakit dengan berbantalkan batu bata.
Setelah mengucap salam kepadanya, aku bertanya, “Apakah kamu butuh suatu keperluan?”
“Ya, jika Anda mau memenuhinya,” jawabnya.
“Ya, aku mau memenuhinya.”
“Setelah aku mati nanti, juallah tali ini dan cucilah jubah dan kain dari bulu ini. Kemudian kafanilah aku dengannya. Setelah itu, bukalah saku ini karena di dalamnya ada sebuah cincin. Lalu pada saat Harun Ar-Rasyid lewat, berdirilah di tempat yang terlihat olehnya, bicaralah, dan perlihatkan cincin itu kepadanya.
Jangan lakukan ini kecuali setelah aku dikuburkan.”
“Baiklah!” jawabku.
Setelah ia meninggal, aku bermaksud melakukan apa yang dimintanya.
Tiba-tiba Harun Ar-Rasyid menangis hingga aku merasa iba.
Setelah kembali tenang, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, ada hubungan apa antara dia dengan Anda?”
“Ia anakku.”
“Bagaimana ia bisa seperti itu?”
“Ia lahir sebelum aku diangkat menjadi khalifah. Lalu ia tumbuh sebagai anak yang baik, yang belajar Al-Quran serta ilmu-ilmu lainnya. Namun, ketika aku telah diangkat menjadi khalifah, ia meninggalkanku dan tidak mau menikmati sedikit pun dari kenikmatan yang aku peroleh. Aku kemudian memberikan cincin yaqut yang harganya sangat mahal ini kepada ibunya sambil mengatakan, ‘Berikan ini kepadanya dan suruhlah ia selalu membawanya. Siapa tahu sewaktu-waktu ia membutuhkannya’. Ia sangat berbakti kepada ibunya. Namun ketika ibunya meninggal, saya sama sekali tidak mengetahui kabar beritanya hingga Anda datang memberitahukannya kepadaku." jelas Harun Ar-Rasyid.
“Jika malam telah tiba, tunjukkanlah aku kuburannya.”
Lanjut Harun Ar Rasyid.
Lalu ketika malam telah gelap, keduanya pergi tanpa pengawalan, hingga tiba di kuburan putranya.
Harun Ar-Rasyid duduk di dekatnya dan menangis sejadi-jadinya.
Ketika fajar menyingsing, mereka bangkit untuk pulang.
“Temanilah aku menziarahi kuburnya beberapa malam lagi,” pinta Harun Ar-Rasyid.
Pada malam berikutnya, aku menemaninya.
Aku sebelumnya tidak tahu kalo pemuda itu adalah anak dari Harun Ar Rasyid, hingga beliau sendiri yang mengatakan.
@Kisah Tawwabin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar